Opini

Minggu, 14 Agustus 2011

Ekonomi Islam dan Bahaya Neoliberalisme

0 komentar
 
Oleh: Herman, Mahasiswa FAI UMJ, Aktif di Basic Syariah Economic Campus*

Pembangunan ekonomi menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan manusia untuk keberlangsungan hidup yang lebih baik. Tujuan pembangunan ekonomi merupakan proses menciptakan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai mukadimah UUD 1945. Namun, pada kenyataannya, teori ekonomi yang digunakan bangsa ini tampaknya belum mampu mewujudkan tujuan dari pembangunan ekonomi. Gambaran itu bisa kita lihat dari ketimpangan ekonomi antara daerah satu dan daerah lainnya.

Untuk mengatasi akar persoalan utama ekonomi diperlukan sebuah sistem yang benar-benar mampu memberikan kenyamanan dan keadilan bagi seluruh anggota masyarakat. Dalam hal ini, ekonomi Islam sangatlah cocok untuk menjawab permasalahan di sektor ekonomi mengingat penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Indonesia memiliki potensi yang luar biasa untuk memajukan pembangunan ekonomi dengan menggunakan pendekatan sistem ekonomi yang Islami.

Pada dasarnya setiap manusia memiliki tujuan yang sama, yaitu mencapai kebahagiaan. Sebagian besar teori ekonomi yang ada menafsirkan kebahagiaan hanya terbatas pada aspek materi. Berbeda dengan ekonomi Islam yang memaknai kebahagiaan dengan kata falah  yang memiliki makna kebahagiaan atau kesejahteraan yang seimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi.

Solusi ekonomi Islam

Penulis sangat mengapresiasi tulisan Ahmad Ifham Sholihin, "Sandaran Ekonomi Islam" (Republika, 19 Maret 2011), yang mengatakan sistem ekonomi Islam telah diposisikan oleh penggagas dan penggiatnya sebagai solusi (bukan alternatif) atas gurita krisis yang menggerogoti kejayaan rezim ekonomi global yang dianggap lekat dengan nilai kapitalisme, sosialisme, neoliberalisme dan/atau nilai-nilai lain yang dianggap melenceng dari ajaran agama Islam.

Pada prinsipnya ekonomi Islam memiliki sifat transendental yang mendasarkan konsep tauhid yang sangat mutlak. Dengan konsep ini, peranan Allah sangatlah penting dalam segala aspek ekonomi. Kemudian, nilai dasar keadilan dalam ekonomi Islam harus ditegakkan karena merupakan misi terbesar ajaran Islam dan mesti menjadi pegangan dalam segala kegiatan ekonomi.

Dalam kepemilikan sumber daya ekonomi, Allah menjadi pemilik mutlak atau absolut, sedangkan manusia hanya sebagai pengelola yang nantinya akan diminta pertanggungjawaban dihadapan-Nya. Sedangkan, ekonomi neoliberalisme menganggap kepemilikan sumber daya ekonomi sebagai milik individu atau lembaga swasta yang di dalamnya menggunakan persaingan bebas dalam mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya.

Ekonomi Islam memiliki tujuan yang sama dengan tujuan syariat Islam (maqasyid asy-syariah). Tujuan itu tidak lain adalah mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat (falah). Kebahagiaan di dunia dan akhirat merupakan keinginan setiap manusia. Kesejahteraan yang ditawarkan ekonomi Islam adalah kesejahteraan yang sebenarnya. Berbeda dengan ekonomi neoliberalisme yang hanya berdimensi pada aspek materi dan mengabaikan aspek ukhrawi.

Ekonomi Islam memiliki nilai yang tidak dimiliki oleh ekonomi lainnya, yaitu nilai agama. Nilai religius dalam ekonomi Islam terletak pada pengharaman riba. Islam sebagai agama universal (rahmatan lil alamin) tidak menoleransi segala bentuk praktik riba. Islam menganggap riba sebagai satu unsur buruk yang dapat merusak masyarakat ekonomi, sosial, maupun moral. Bahkan, Nabi melaknat semua praktik riba. "Rasulullah melaknat (mengutuk) orang yang memakan riba, orang yang berwakil kepadanya, penulisnya, dan kedua saksinya." (HR Muslim).

Bahaya Neoliberalisme

Menurut Revrison Baswer (2010), kelemahan utama neoliberalisme terletak pada kecenderungannya untuk melaksanakan pelaksanaan cara produksi atas dasar kapitalisme dan mekanisme alokasi atas dasar mekanisme pasar. Padahal, menurut Stiglitz, pasar hanyalah salah satu alat, bukan satu-satunya alat untuk mencapai tujuan ekonomi. Menjadikan pasar sebagai satu-satunya alat, lebih-lebih menjadikannya seabagai tujuan itu sendiri, sama artinya dengan memorakporandakan fondasi integrasi sosial dan menjerumuskan perekonomian negara-negara miskin ke lembah kehancuran.

Dengan demikian, jelaslah bahwa neoliberalisme hanya memberikan keuntungan pada pihak yang memiliki modal saja tanpa melihat dampak buruknya bagi negara-negara miskin. Di samping itu, ekonomi neoliberalisme menjadikan faktor-faktor produksi, seperti SDA, modal, dan tenaga kerja sebagai milik pribadi. Pelaku ekonomi liberal juga menjadikan mekanisme pasar sebagai alat untuk mencapai keuntungan maksimum sehingga untuk mencapai itu semua mereka menghalalkan segala cara, termasuk penghalalan riba.

Sistem ekonomi Islam telah menunjukkan eksistensinya dalam menghadapi guncangan krisis ekonomi yang terjadi pada 1998, sedangkan ekonomi konvensional tidak mampu membendung hantaman krisis tersebut. Kemampuan ekonomi Islam bertahan dari guncangan krisis ekonomi karena menjunjung prinsip keadilan yang merupakan ajaran utama dalam Islam. Islam sebagai agama universal tidak hanya memuat ajaran yang bersifat spiritual,  tetapi mencakup segala aspek kehidupan manusia, termasuk ekonomi.

Sistem-sistem ekonomi yang ada saat ini tidak mampu memberikan kontribusi dalam mewujudkan keadilan bagi masyarakat luas. Sistem ekonomi yang diadopsi dari Barat hanya melahirkan jurang (gap) antara individu, masyarakat, dan negara.

Selain itu, sistem ekonomi yang ada tidak mampu menyelesaikan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Neoliberalisme membawa dampak negatif bagi negara-negara miskin, terutama dalam bentuk meningkatnya polarisasi sosial dan ekonomi antara golongan kaya dan miskin serta meningkatnya dominasi para pemilik modal terhadap faktor-faktor produksi di negara miskin.

Ekonomi Islam hadir untuk memberikan jawaban atas ketidakadilan yang ditimbulkan oleh ekonomi konvensional, seperti neoliberalisme. Ekonomi Islam menjunjung keadilan dan melarang dengan keras praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, dengan prinsip tersebut, kita lebih optimis untuk mencapai tujuan ekonomi yang sebenarnya, yaitu kesejahteraan dunia dan akhirat (falah). 

*Artikel dimuat Republika

Readmore...

Generasi Muda dan Kerangka Berpikir

0 komentar
 
Oleh: Mohamad Ridha, Pengurus Islamic Society of Greater Portland (ISGP) dan Indonesian Muslim Society of America (IMSA)*


Pada era globalisasi sekarang ini, pada saat orang bisa berinteraksi dengan yang lain di negara yang berbeda ras, bahasa, kultur, juga agamanya, tidak sedikit umat Islam, terutama generasi mudanya, yang mulai berpikir kritis dan mempertanyakan kebenaran pokok keimanan dan aturan agama mereka. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman pribadi, pelajaran agama Islam di sekolah dasar dan menengah lebih bersifat kepada doktrin dan sangat sedikit (kalau bisa dibilang ada) yang membahas masalah apologetika, yakni dalam menyikapi masalah berkenaan dengan dasar keimanan agama.

Pertanyaan-pertanyaan seperti "Apa bukti Tuhan itu ada?", "Mengapa Tuhan menciptakan keburukan di muka bumi?", "Mengapa kita perlu beragama?", "Apa bukti Alquran itu wahyu Tuhan?", dan yang semacamnya, tampak tidak banyak dibahas secara logis dan terbuka dalam pelajaran agama Islam di sekolah. Kalaupun disinggung, hanya sepintas dan yang lebih terasa penekanan doktrinisasinya.

Mungkin di zaman dulu, orang yang bertanya mengenai keimanan seperti ini akan dicap 'kafir' oleh guru agama. Mungkin, saat ini pun tidak sedikit guru agama dan juru dakwah yang beranggapan buat apa buang waktu menjawab hal apologetika macam itu karena masih banyak urusan umat yang harus diperbaiki. Padahal, seharusnya mereka menyadari bahwa bila tidak ada yang peduli terhadap masalah ini, cepat atau lambat, generasi muda Islam akan merasakan dampak negatifnya.

Kalau kurikulum pendidikan agama di sekolah tidak mampu membahas masalah apologetika yang ditanyakan generasi muda Islam ini, ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Mereka akan berusaha mencari sumber-sumber informasi dari luar yang dapat menjawab pertanyaan mereka dan itu mungkin saja mengantarkan kepada pemahaman yang benar atau salah.

Jawaban itu bisa melahirkan sikap ekstrem dalam beragama, atau sikap liberal dengan menghalalkan segala cara, atau bahkan bersikap ragu terhadap agama. Bila keraguan ini makin menumpuk, mereka tidak segan memproklamasikan diri keluar dari agama, atau bahkan mencela dan mencaci agama.

Seharusnya para guru agama dan dai memahami permasalahan ini dan mau memperluas wawasan mereka sehingga siap menghadapi pertanyaan apa pun yang mungkin saja sebelumnya tidak pernah terdengar (atau tidak berani) ditanyakan oleh generasi di zaman mereka.

Tidak sedikit ulama, termasuk keempat imam mazhab, zaman dulu ketika membahas masalah agama-baik itu akidah, ibadah, maupun muamalah-menggunakan kerangka dan metode argumentasi yang baik dalam menanggapi masalah keimanan. Sayangnya metode berpikir terstruktur tersebut tampaknya jarang dipakai guru agama dan juru dakwah. Tidak jarang ketika menanggapi pandangan yang berbeda, lebih terasa nada emosionalnya daripada kekuatan argumentasinya.

Hal ini juga bisa dilihat dalam banyak polemik di arena perang pemikiran (ghazwul fikr), baik kalangan internal (liberalis, ekstremis, dan sektarian) maupun kalangan eksternal (ateis, orientalis, misionaris, dan kelompok anti-Islam), yang dapat memengaruhi keimanan umat Islam, terutama generasi mudanya.

Kerangka berpikir
Dalam argumentasi, setiap pendapat (claim), harus ada dasar, alasan (ground) yang mendukungnya. Kebenaran alasan ini bisa dilihat dari (1) fakta (bila bisa diverifikasi) dan (2) logika yang menghubungkan alasan dengan pendapat yang dilontarkan.

Contohnya paham ateis yang mengklaim bahwa "Tuhan itu tidak ada" dengan alasan karena tidak bisa dilihat. Hal ini dapat dianalisis kebenarannya dengan mempertanyakan hubungan antara alasan dan klaim tersebut. Apakah sesuatu itu selalu tidak ada kalau tidak bisa dilihat? Karena alasan yang dipakai tidak bisa mendukung klaim yang dilontarkan, ia tidak bisa diterima.

Contoh lainnya pendapat yang mengatakan "Alquran itu ciptaan Muhammad" dengan alasan "beliau menjiplak Alkitab." Hal ini dapat dianalisis dengan mengecek benar tidaknya fakta dalam alasan tersebut. Adakah fakta yang bisa dipercaya (factual evidence) bahwa beliau menjiplak Alkitab? Seorang yang melempar tuduhan harus bisa membawa bukti terhadap tuduhannya. Karena tidak ada faktanya, pendapat tersebut tidak bisa kita terima.

Dari sini, bisa dilihat bahwa dalam menganalisis argumentasi satu pendapat, selain kerancuan fakta dalam alasan yang dipakai (factual fallacy) perlu diwaspadai pula kerancuan berpikir (logical fallacy). Tujuannya agar terhindar dari kesimpulan atau pendapat yang salah.
Logical fallacy ini banyak bentuknya. Misalnya kerancuan definisi dan konteks dalam penggunaan kata (equivocaton, out of context), kerancuan kriteria atau standar dalam menilai (double standard), kerancuan contoh yang tidak relevan (red herring), kerancuan membahas pendapat lawan yang diubah bentuknya sehingga menjadi tidak relevan (straw man), penyerangan personal pendapat yang beda yang tidak ada kaitannya dengan diskusi (ad hominem), kerancuan asumsi yang digunakan (bifurcation, hasty generalization), dan masih banyak lainnya.

Contohnya, dalam pendapat "Tuhan itu tidak ada" dengan alasan "kalau Dia ada, pasti Dia tidak akan membiarkan adanya keburukan di muka bumi." Hal ini bisa dilihat adanya kerancuan asumsi di dalamnya, kalau tidak begini pasti begitu (bifurcation/false dilemma). Tak tahunya kita terhadap alasan mengapa Tuhan bersikap demikian, bukan berarti Tuhan itu tidak ada. The absence of evidence does not necessarily mean the evidence of absence.

Masih banyak contoh lain yang bisa dianalisis dengan menggunakan kerangka berpikir dan argumentasi ini. Framework ini hanyalah sebuah alat netral yang bisa dipakai oleh siapa saja, untuk permasalahan apa saja, tidak hanya dalam hal agama. Sayang, jika hal ini tidak digunakan oleh umat Islam, apalagi guru agama dan juru dakwahnya dalam memberikan pemahaman kepada umat.

Mudah-mudahan, dengan mempelajari dan mengetahui lebih jauh framework ini, metode pengajaran agama Islam di sekolah maupun di luar sekolah, terutama masalah apologetika yang berhubungan dengan pemahaman masalah keimanan dalam agama dapat diperbaiki dan ditingkatkan lagi sehingga bisa berhasil menanamkan keyakinan yang benar dan solid terhadap Islam, terutama di kalangan generasi mudanya. Amin. Wallahu 'alam.

*Artikel dimuat Republika, Senin 15/08/2011

Readmore...

Blackhole Nazaruddin

0 komentar
 
Oleh: Irfan Ridwan Maksum, Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara UI, Staf Pengajar di UMJ*


Dalam ilmu alam, diyakini ada satu titik di jagat raya ini berupa blackhole (lubang hitam). Lubang ini memiliki energi yang sangat besar berpusar dan bergerak pada porosnya mengitari jagat. Bahkan kian hari kian besar energinya. Pergerakannya membawa petaka benda-benda apa pun. Lubang ini akan menyerap dan melenyapkan semua benda yang dilewatinya. Seiring dengan benda-benda yang dilenyapkan, diameter lubangnya makin membesar.

Kasus Nazaruddin, jika dibiarkan, tentu akan membesar, bak lubang hitam jagat raya, dia akan memakan siapa pun yang berada di sekitar kasus tersebut. Saya katakan bisa menjadi fenomena lubang hitam karena dia adalah mantan bendahara partai berkuasa. Dia berada di pusat kekuasaan. Karena tersandung kasus korupsi, tentu dapat merusak kontur pemerintahan. Tentu, kita harus memikirkan hal ini agar tidak menimbulkan masalah yang kian lebar.

Sebetulnya asumsi blackhole yang ditakuti hanyalah energi serapnya. Energi yang besar dari Nazaruddin adalah karena ada pasokan dari media. Jika tidak ada pasokan dari media, tentu tidak akan membesar. Media membidiknya juga karena Nazaruddin memiliki nilai jual tinggi karena posisinya sebagai mantan bendahara partai berkuasa.

Jika tidak karena ini, niscaya media tidak akan melirik sama sekali. Nazarudin, ditonton oleh banyak masyarakat Indonesia karena masyarakat kita memang suka hal-hal yang seperti ini. Gejolak, kritik terhadap ketidakadilan, konflik, hal-hal yang berbau sadis amatlah disukai para pemirsa, pendengar, dan pembaca berita di negara kita. Apalagi, menyangkut berita mengenai seseorang yang berada di lingkar kekuasaan.

Partai berkuasa tentu adalah pusat kekuasaan nomor dua di sebuah negara bangsa setelah kepala pemerintahan. Nyanyian Nazaruddin secara langsung terutama mengganggu partai demokrat. Kekuatanleadership partai inilah yang menentukan pusaran fenomena lubang hitam Nazaruddin dapat dihentikan atau tidak. Jika pak Anas Urbaningrum tidak punya strategi dan jika benar apa yang dinyanyikan Nazaruddin mengenai keadaaan para tokoh partainya tentu gangguannya akan makin besar.

Pak Anas harus mampu mengelola imbas nyanyian Nazaruddin yang masuk ke tubuh partai tersebut. Jika tidak mampu, tentu Pemerintahan SBY sedikit-banyak terganggu. Ke mana alurnya? Tentu tidak langsung ke menajamen pemerintahan.

Gangguan tersebut, pertama akan mengganggu konstelasi partai-koalisi. Koalisi akan lemah. Partai lain akan memiliki posisi tawar yang tinggi. Konsentrasi partai menggalang kekuatan dukungan di parlemen agar menjaga kebijakan pemerintah akan terganggu. Dari sini pemerintahan SBY-Boediono mulai terusik. Jadi, inilah tantangan buat pak Anas.

Blackhole akan pudar dengan daya terang yang melebihi kapasitas kegelapan dari lubang hitam tersebut. Pusat kekuasaan dalam konsep negara modern sebetulnya menerangi sekeliling dan memberikan daya hidup, bak matahari dalam sebuah tata surya.

Beruntung, secara hukum, nyanyian Nazaruddin tidak bisa dijadikan dasar hukum sehingga hanya citra partai berkuasa saja yang terus terpengaruh dengan kemungkinan efek berantai seperti tertulis di atas. Daya terang tersebut terutama dikendalikan oleh leadership pak Anas.

Pak Anas harus bekerja keras. Ke dalam, dia harus konsolidasi kuat dengan dibantu para ketuanya. Keluar, tentu hubungan politik dengan partai-koalisi harus solid. Hal ini harus dia kendalikan langsung oleh pak Anas melalui tangannya sendiri. Dua hal tersebut dikelola sembari memfokuskan secara hukum perihal Nazaruddin. Jika semua yang dituduhkan Nazaruddin yang dialamatkan ke pribadinya tidak benar, pak Anas harus siap membuktikannya.

Jika menyangkut ke sejumlah petinggi partai dan sejumlah nama lain bahkan kelembagaan, maka yang dibutuhkan adalah pengelolaan manajemen bersama yang terarah dengan baik. Hubungan dengan media, dewan pembina, sesepuh partai, para-kader, dan pimpinan wilayah serta cabang harus dia kendalikan dengan mencoba mencari strategi dan peta jalan mengatasi masalah tersebut.

Pak Anas tentu dengan pengalamannya di HMI dan KPU telah siap dengan kondisi terburuk sekalipun. Pak Anas menjadi harapan partai yang menentukan keberlangsungannya pula. Jika dia punya sapu bersih, tentu sapu tersebut akan digunakan pertama kali terhadap lingkungan terdekatnya, baru ke jarak yang lebih luas dari lingkungan tersebut. Pertanyaannya adalah, apakah sapu yang dia miliki sudah bersih? Tentu ini menjadi batu ujian yang betul-betul serius dihadapi.

Sebagai orang yang memiliki track-record tergolong ulet, pak Anas tidak boleh menyepelekan hal ini. Taruhannya adalah partainya dan bangsanya yang sedang dikelola oleh manajemen partainya. Sekali acuh-tak-acuh dan tidak ada kegiatan konkret, katakanlah, untuk membantu para penegak hukum dan publik mengetahuinya, maka jelas pak Anas bunuh diri.

Dia harus duduk 24 jam untuk soal ini. Tidak boleh sedikit pun memikirkan hal-hal yang berorientasi pada kepentingan pribadinya semata, keluarga, bahkan orang dekat. Hari-hari ini dan ke depan pak Anas hanya untuk partai dan bangsanya. Hanya satu kata: buktikan!

*Artikel dimuat Republika, Senin 15/08/2011

Readmore...

Sempurnakan dengan Iktikaf

1 komentar
 
Oleh Dr Abdul Mannan*


Ramadhan tinggal beberapa hari lagi. Sudahkah kita jadikan momentum istimewa ini sebagai media untuk benarbenar meraih predikat takwa? Hari terakhir Ramadhan bukanlah saat untuk semata-mata mempersiapkan Lebaran, bekerja kian giat agar bisa belanja pakaian dan makanan, sampai-sampai meninggalkan ibadah iktikaf.

Bagi orang yang benar-benar merasa terpanggil oleh Allah SWT, tentu ia akan jadikan Ramadhan ini benar-benar berarti dalam hidupnya. Ia akan berusaha se mak simal mungkin meraih kerida an Allah SWT. Satu upaya yang harus dilakukan dengan penuh keimanan dan penuh semangat di bulan suci ini ialah iktikaf, terkhusus pada sepuluh hari terakhir. Di penghujung ayat tentang Ramadhan (QS 2: 187), Allah menyebut tentang iktikaf. Ini mengindikasikan bahwa iktikaf adalah hal penting untuk diutamakan seorang Muslim di bulan Ramadhan.

Selain itu, Rasulullah SAW tidak pernah melewatkan momentum Ramadhan untuk iktikaf. Bahkan, pada tahun di mana Beliau meninggalkan umatnya untuk selamalamanya. “Nabi dahulu iktikaf pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, hingga Beliau diwafatkan Allah SWT, kemudian istri-istrinya iktikaf setelahnya.” (HR Bukhari).

Secara bahasa iktikaf berarti menetapi sesuatu dan menahan diri agar senantiasa tetap berada padanya, baik hal itu berupa kebajikan maupun keburukan.

Sementara secara istilah iktikaf bermakna menetapnya seorang Muslim di dalam masjid untuk melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT.

Secara historis, iktikaf dalam praktiknya juga dilakukan oleh Nabi dan umat sebelum Rasulullah SAW. Kisah ini terdapat dalam firman-Nya: “Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk, dan yang sujud.” (QS 2: 125).

Iktikaf akan membantu seorang Muslim mencapai derajat takwa dengan lebih sempurna. Sebab, dengan iktikaf, dia akan senantiasa terdorong untuk melakukan ibadahibadah dengan penuh kekhusyukan. Situasi demikian tentu akan mendorong terjadinya peningkatan kualitas iman dan takwa.

Orang yang iktikaf akan terbantu untuk melakukan shalat berjamaah tepat waktu, shalat tarawih, shalat tahajud, shalat sunah, membaca Alquran, tafakur, zikir, dan beragam bentuk ibadah lainnya. Dengan cara demikian, insya Allah orang yang beriktikaf akan terbantu untuk mendapatkan malam lailatul qadar.

Iktikaf tidak saja mendorong kesa daran untuk melakukan ba nyak ibadah, tetapi juga kesadaran untuk mencintai masjid. Kecintaan kepada masjid adalah salah satu ciri seorang yang ber iman kepada Allah dan hari akhir.

Allah berfirman, Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS 9: 18).

Jadi, marilah kita laksanakan iktikaf dengan penuh kesungguhan.

*Artikel dimuat Republika, Senin 15/08/2011

Readmore...
Jumat, 12 Agustus 2011

Mas Zuki dan Maafkan Koruptor

0 komentar
 
Oleh: Ecep Heryadi, Analis Sosial Politik UIN Jakarta, Fellow Jejaring Intelektual Publik Indonesia (JIPI)*


Wajah perpolitikan Indo­ne­sia kembali ga­duh. Se­jatinya riuh rendah oleh ber­ba­gai manuver dan aktifisme para elite politik yang jauh pang­gang dari api antara kata dan apli­kasi, dianggap su­dah wajar. Namun, ke­ti­dak­wa­jaran menyoal ma­nuver/ wa­cana Ketua DPR Mar­zuki Alie yang juga Wakil Ke­tua Dewan Pembina Partai De­mokrat masif menyeruak ke mu­ka publik akhir-akhir ini: dengan menge­lin­dingkan isu bu­barkan KPK. 

Sontak publik tercengang. Nalar Ma(s)rzuki kontraproduktif dengan nalar publik. Tak heran jika tokoh bangsa sekelas Buya Syaf­ii Ma’arif menyebut Mas Zuki se­dang tak sadar (ketika meng­u­sulkan pembubaran KPK). Ada apa dengan Mas Zuki? Bukankah Ke­tua Dewan Pembina PD, SBY, dalam Rakornas di Bogor meng­atakan, “jangan hanya karena nilai setitik, rusak susu se­be­langa dalam konteks buron KPK, M. Na­zaruddin yang berhasil meng­obrak-abrik PD sampai ke titik na­dir”. Mengapa itu pula tak di­ber­lakukan untuk KPK?

Jangan karena satu-dua nama pim­pinan KPK—M.Jasin, Chan­dra M. Hamzah, Johan Budi, Ade Rahardja—lantas berasumsi bah­wa lembaga yang masih di­percaya publik ini mesti di­bu­bar­kan. Benar kata Advokat Se­nior Adnan Buyung Nasution bah­wa yang mesti dibuarkan itu PD dan DPR, bukan KPK, ka­rena di dua lembaga ter­se­but­lah yang paling banyak “orang tak beres”-nya. Merujuk pada ha­sil penelitian beberapa LSM, par­tai politik dan institusi dewan adalah lembaga yang paling tak dipercaya publik karena korup, ku­rang aspiratif, dan seringnya me­lakukan blunder.

Pernyataan Mas Zuki tentu ber­efek besar dalam upaya pem­be­rantasan korupsi di tanah air. Po­s­i­sinya sebagai ketua lembaga ting­gi negara bisa difahami publik se­bagai refresentasi DPR secara ke­seluruhan yang ingin mem­bu­barkan KPK. Apa dampaknya? Apa­­tisme publik dan makin ter­­degradasinya trust masyarakat ter­­hadap DPR khususnya, akan se­makin terjadi. Lebih dari itu, sinya­lemen pelemahan sistematis KPK oleh lembaga yang secara ha­kikat melahirkan KPK lewat as­pek yuridis-formal (keluarnya UU KPK) benar-benar tengah dan akan dijalankan DPR.
Karena sesungguhnya, hampir tak ada hal positif yang bisa di­am­bil dari pernyataan Mas Zuki itu selain deligitimasi KPK secara te­rang. Alibi-alibi yang di­ke­luar­kan untuk mendukung per­nya­taan tersebut bisa dengan mu­dah dibantah publik.

Republik Korup
Menjadi tak aneh usulan Mas Zuki—yang disebutnya melawan lo­gika umum—ketika kondisi eko­nomi negara campleng, ko­rup­si minim seperti di Singapura atau China, dan atau pejabatnya ber­sikap benar-benar anti ter­ha­dap korupsi. Apa realitasnya? Usulan Marzuki yang “visioner” itu tak didukung oleh realitas dan empirisme praktik koruptif di ­negeri ini. Korupsi kita masih “diatas nalar”.


Korupsi kita masih liar dan su­kar dikendalikan. Hampir ke­seluruhan lembaga negara terkena sindroma koruptif akut. Lem­baga peradilan dan lembaga de­wan pada 2003, menurut Data Trans­parancy International ma­sih yang terkorup. Sedangkan par­pol menurut survey Ba­ro­meter Korupsi Global Trans­pa­ran­si Indonesia memperlihatkan in­ti­mitasnya dengan uang yang be­gitu lekat sehingga berimplikasi pa­da suap, korupsi, dan lainnya, di empat tahun berdekatan 2003, 2004, 2007, dan 2008.


Fenomena suap di kalangan po­litisi pragmatis tak kalah di­bandingkan dengan korupsinya itu sendiri. Data ICW me­nan­da­kan ada peningkatan kasus pa­da 2010 dibandingkan 2009 ya­ng “hanya” 42 tersangka, dengan men­jadi 69 tersangka. Hal tersebut tentu saja ber­impli­ka­si pada ke­rugian negara yang pula me­ning­kat dari Rp 470,6 miliar men­jadi Rp 619,13 miliar pa­da 2010.


Realitas diatas semakin di­tun­jang­ oleh hasil penelitian Trans­pa­ransi Indonesia (TI) yang men­­ya­takan masih menggebyah-uyah­n­ya berbagai praktik koruptif pa­da bidang bisnis, yang meliputi ber­bagai ijin usaha: hak guna usaha (HGU), izin mendirikan bangunan (IMB), ijin domisili, ijin ekspor, ijin bongkar muat ba­rang, dsb, pajak: restitusi pajak, peng­hitungan pajak, pungutan liar oleh berbagai instansi ter­uta­ma kepolisian dan imigrasi serta pengadaan barang dan ja­sa baik melalui proses tender atau penunjukkan langsung.


Dari kesemua prosesi bisnis itu, semua tahapannya mesti me­lalui “zona korupsi” sampai be­berapa layer. Hasil cermatan TI demikian sejalan dengan Studi In­teg­ritas yang digelar Direktorat Lit­bang KPK tahun 2007. Dalam Stu­di Integritas tersebut diketahui bah­wa unit-unit layanan semisal Bea Cukai, Pajak, layanan ke­te­na­gakerjaan dan imigrasi men­duduki peringkat terendah da­lam urusan integritas. Layanan pa­jak misalnya, mempunyai skor “merah” yakni 5,96. Terlebih skor untuk pelayanan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang hanya 3,45.


Berbahaya lagi ketika mayoritas pub­lik menganggap bahwa ren­dah­nya kualitas integritas sektor pe­layanan publik adalah hal yang wajar sehingga men­do­rong­nya dengan memberikan im­balan (seperti pada kasus pem­­buatan KTP, pencairan dana BLT di desa, misalnya) dianggap sah-sah saja. Masyarakat banyak yang tak sadar bahwa jika hal de­­­mikian terus menerus di­la­ku­­kan progresifitas dan im­pe­lem­entasi good go­ver­nance yang se­lama ini didengung-dengung­kan pemerintah semakin sulit di­ta­taran aplikatif.


Hal tersebut, tergambar bahwa begitu ruwet dan kompleksnya per­soalan korupsi ini karena men­jalar ke semu lini kehidupan. Fakta dan realitas itu, barangkali, yang tak difahami oleh Mas Zuki se­hingga dengan entengnya ber­bicara menyoal pembubaran KPK.


Katakan Tidak un­­tuk Ma­afkan Koruptor!

Jujur saja, sedikitpun, usulan pem­bubaran KPK dan pemaafan ko­r­uptor tak masuk di akal sehat sa­ya. Pertama, terkait pem­bu­baran KPK yang didasarkan pada ke­t­iadaan tokoh bangsa ini untuk ber­diri memimpin lembaga sek­re­dibel KPK. Masih banyak saya kira tokoh yang idealis, kredibel, ak­sep­tabel, bermoral, ber­in­teg­ri­tas, faham akan persoalan ca­rut-marutnya korupsi di In­do­nesia. Refresentasinya terlihat pa­da ke-17 nama yang baru saja lo­los tes pembuatan makalah oleh panitia seleksi (pansel KPK) ya­ng diketuai Menkumham Patrialis Akbar.


Kinerja pansel yang reaktif dan ter­buka tentu menumbuhkan op­timisme publik terkait akan la­hirnya pimpinan KPK yang di­harapkan. Lihat saja ketika nama Chandra Hamzah, Ade Rahardja dan Johan Budi disebut-sebut Nazaruddin, ketiganya lang­sung gagal tak masuk seleksi lanjutan. Meski tak ada kepastian men­yoal alasan gugurnya 3 orang di intrenal KPK itu, selain nor­ma­tif karena dianggap tak layak da­ri sisi aspek teknis (pembuatan ma­kalah), namun banyak orang ber­fikir hal itu disebabkan se­mata-mata reaktifnya pansel KPK terhadap opini yang ber­kem­bang di ruang publik. Dalam konteks ini, pansel KPK terlihat sangat hati-hati dan sangat sen­sitif dalam penetuan siapa-siapa yang bakal diloloskan dan yang di­gugurkan.


Kedua, terkait memulangkan dan memaafkan para koruptor di luar negeri secara nasional. Di­kem­ba­likan lagi dari nol sambil me­ne­rap­kan undang-undang (UU) Pem­buktian Terbalik. Per­tan­yaanya, apakah mereka (ko­rup­tor) mau untuk pulang ke In­donesia? Ka­lau­pun mau pu­lang, apakah ada ja­minan uang negara yang mereka gondol ma­sih tersisa? Bagaimana jika yang menyisa tinggal orangnya saja, uangnya su­dah ludes, apakah tetap di­ma­af­kan? Pertanyaan la­n­ju­tannya, apakah Mas Zuki punya data lengkap dan valid ihwal para koruptor Indonesia di luar negeri dari lintas rezim? 
Sebab itu, musykil dan terlalu be­ri­siko implementasi usulan Mas Zuki tersebut. Jadi, mengutip jar­gon politik PD pada saat kampanye pemilu 2009, katakan tidak untuk maafkan koruptor!


*Artikel dimuat Radar Banten, Jumat 05/08/2011.
Readmore...

Menunggu Pinokio Politik

0 komentar
 
Oleh: Toto Suparto, peneliti di Pusat Kajian Agama dan Budaya (Puskab) Yogyakarta*



Dok MataNews

PINOKIO memang hanya kisah sebuah boneka, sesuai judul aslinya ”Storia di un Burattino” di negeri Italia. Buku itu pertama terbit di sana tahun 1883, dan sampai sekarang diterjemahkan lebih dari 90 bahasa, termasuk Bahasa Indonesia, sehingga anak-anak kenal benar karakternya. Tanyakan kepada anak-anak, apa yang mereka ketahui tentang Pinokio? Pasti sebagian besar menjawab, ”Suka berbohong. Kalau berbohong hidungnya tambah  panjang!” Begitulah karakter universal Pinokio: pemalas, naif, kadang tampak bodoh, ingkar janji pada Geppeto, sering melarikan diri, menjulurkan lidah, dan menertawakan Geppeto. Siapa Geppeto? Ia adalah tukang kayu yang membuat boneka Pinokio. Pada akhir cerita, Pinokio berubah menjadi anak yang baik dan sayang kepada Geppeto.
Dalam politik di negara kita, Pinokio mudah dijumpai. Banyak politikus tidak segan berbohong, atau menuduh lawan politik atau malah koleganya berbohong. Yang berbeda dari Pinokio, politikus kita ketika berbohong hidungnya tidak bertambah panjang. Karena itu, nanti kalau Nazaruddin sudah di Jakarta, rakyat menebak: siapakah yang bakal jadi ”Pinokio”? Ada beberapa nama berpeluang. Nama yang disebut Nazaruddin saat wawancara via Skype, Kamis (21/7) malam misalnya, antara lain Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai Demokrat), Angelina Sondakh (anggota DPR/ FPD), Andi Alifian Mallarangeng (politikus PD yang jadi menteri), I Wayan Koster (anggota DPR/ FPDIP) dan beberapa dari KPK. Nazaruddin pun bisa menjadi ”Pinokio”.
Nazaruddin menuduh Anas melakukan praktik money politics saat pemilihan ketua umum Demokrat. Anas membantahnya dan menganggap Nazaruddin berhalunisasi. Kemudian Angie dan Koster disebutnya menerima uang miliaran rupiah. ”Ini ada flashdisk-nya, siapa yang menerima, uangnya dari mana. Semua tercatat, di sini,” begitu kata Nazar dalam wawancara itu. Andi juga dikaitkan dengan kasus wisma atlet SEA Games di Palembang.
Karakter Machiavellian
Apa yang muncul itu membuat rakyat bingung, siapa yang berbohong? Mana mungkin seorang Anas atau Angelina bisa berbohong? Jangan-jangan Nazaruddin yang justru menebar kebohongan. Namun apapun alasan keraguan itu, jika ditelisik lebih jauh maka bakal ketahuan bahwa kebohongan itu mungkin saja bisa mereka lakukan. Seorang Anas, seorang Angelina, adalah makhluk politik yang tidak luput dari berbohong. Kebohongan hal biasa dalam berpolitik. Inilah karakter politikus machiavellian.
Machiavelli menyatakan tak ada kejahatan dalam politik, yang ada hanya kesalahan kecil. Bahkan ia menyarankan menetapkan tujuan dengan segala cara karena semua dianggap halal. Maka, jangan bicara soal kejujuran dalam politik, meski William Shakespeare menyatakan, ”Jujurlah pada diri sendiri, lakukan dengan setia, bagai malam berganti siang, maka engkau mustahil berbohong kepada orang lain”. Kalimat ini merupakan nasihat Polonius kepada putranya, Laertes, dalam bagian dari drama Hamlet.
Ketika kebohongan bersanding dengan politikus, atau oposisi binernya adalah kejujuran jauh dari politkus, saat itu pula kebenaran susah diungkap. Secara epistemologi, kejujuran merupakan metode untuk mencapai kebenaran. Pendek kata, bilamana mau mengungkap kebenaran maka kejujuran jadi pegangan utama. Dari sini banyak khalayak bertanya-tanya, setelah Nazaruddin ditangkap, lalu? Mungkinkah Pinokio dalam karut-marut Partai Demokrat bisa ditemukan? Namun banyak yang mengkhawatirkan, justru rekayasa politik bakal menggiring Nazaruddin menjadi Pinokio tunggal.
Kita tunggu saja Nazaruddin, apakah ia bakal mengungkapkan semua nyanyiannya (baik lewat SMS, BBM maupun Skype), saat berbicara di ranah hukum? Publik, entah lewat media atau jejaring sosial, mesti saling bahu-membahu mengontrol nyanyian Nazaruddin jangan sampai dilenyapkan. Kita punya kepentingan sama, yakni menyingkirkan Pinokio dari jagat politik.
*Artikel dimuat Suara Merdeka, Jumat 12/08/2011
Readmore...

Korupsi Politik

0 komentar
 
Oleh: YB Purwaning M Yanuar, advokat dan doktor ilmu hukum Universitas Padjajaran Bandung*


Kepercayaan masyarakat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menurun. Demikian hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang diumumkan di Jakarta, Minggu (7/8) lalu. Menurut LSI, jika Oktober 2005 tercatat 58,3% responden percaya KPK bertugas tanpa pandang bulu, hasil survei pada Juni 2011 anjlok ke 41,6%. Turunnya kepercayaan publik kepada KPK, menurut LSI, terjadi pada kasus yang berhubungan dengan penguasa.




Dalam literatur mengenai korupsi, kejahatan korupsi yang berhubungan dengan penguasa itu disebut atau dikategorikan sebagai korupsi politik (political corruption) atau grand corruption. Korupsi ini melibatkan para pembuat keputusan politik yang memiliki kekuasaan membuat hukum, peraturan dan kebijakan. Contohnya, kebijakan dalam pembuatan dan penentuan anggaran di DPR-RI. Praktik-praktik mafia anggaran merupakan salah satu bentuk korupsi politik. Yang dapat terlibat dalam korupsi politik adalah pemegang kekuasaan eksekutif (para pejabat pemerintah, anggota kabinet), legislatif (para anggota DPR), yudikatif (para hakim Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tinggi).

Korupsi politik merupakan penyalahgunaan kekuasaan politik untuk keuntungan pribadi atau kelompok, seperti untuk penggalangan dana bagi partai politik. Korupsi macam ini umumnya dilakukan dalam dua bentuk. Pertama, bentuk akumulasi dan perampasan kekayaan, baik dari sektor swasta maupun dari anggaran negara yang merupakan dana publik lewat proyek-proyek yang dibiayai oleh anggaran negara. Skandal Century, dan kasus Wisma Atlet SEA Games, merupakan contoh praktik korupsi ini.

Bentuk kedua adalah korupsi yang dilakukan untuk mendapatkan dan memperbesar kekuasaan (favouritism and patronage politics). Ini terjadi dalam pembuatan keputusan politik dan proses pemilihan, misalnya, dalam kasus pemilihan Gubernur BI. Praktik money politics dalam pemilihan ketua partai yang menggunakan uang komisi proyek yang dibiayai APBN merupakan contoh lain dari praktik korupsi ini. Turunnya kepercayaan publik kepada KPK dalam penanganan kasus korupsi politik tentu disebabkan tidak jelasnya penyelesaian kasus-kasus tersebut.

KPK terkesan gamang dan enggan. Mengapa? Kemungkinan pertama, karena KPK, termasuk para pimpinan KPK, merupakan produk dari keputusan politik para pemegang kekuasaan politik yang tersangkut kasus-kasus tersebut. Kemungkinan kedua, karena KPK baik secara sadar atau tidak, baik secara terencana atau tidak, telah mereduksi medan perang (battle ground) melawan kejahatan korupsi hanya pada korupsi birokratik (bureaucratic/administrative corruption), kejahatan korupsi yang berhubungan dengan aktivitas birokrasi yang hanya melaksanakan keputusan-keputusan politik, dan tidak menyentuh para elite kekuasaan dan elite politik.

Indikasi pergeseran yang bersifat reduksional dari medan perang melawan kejahatan korupsi ini dapat dilihat sejak dikembangkannya suatu grand design reformasi birokrasi nasional di awal tahun 2010. Ketika itu lahirlah apa yang disebut Agenda Reformasi Birokrasi. KPK sendiri pada tanggal 14 Juli 2010 mendapat penghargaan Best Action Plan dalam penyusunan rencana kerja di bidang birokrasi.

Dalam perkembangannya, agenda reformasi birokrasi ini didukung oleh pembentukan komite pengarah reformasi birokrasi nasional dan tim reformasi birokrasi nasional berdasarkan Keppres Nomor 14 Tahun 2010 yang mengalami perubahan dengan Keppres Nomor 23 Tahun 2010. Berdasarkan Keppres ini, salah satu tugas dari tim reformasi birokrasi nasional adalah menyusun rancangan utama (grand design) dan road map reformasi birokrasi 2010-2015.

Agenda reformasi birokrasi yang salah satu tujuan utamanya untuk mencegah dan memberantas praktik-praktik KKN, tentu saja baik dan penting. Tetapi, ini memberikan suatu kesan kuat bahwa medan perang melawan korupsi itu hanya pada kejahatan korupsi birokratik. Agenda ini jelas dilandaskan pada pemahaman bahwa jika birokrasi bersih praktik KKN, maka negeri ini bebas dari kejahatan korupsi.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan korupsi politik? Pengalaman negara-negara lain dalam memerangi kejahatan korupsi menunjukkan bahwa suatu negara tidak akan dapat memberantas kejahatan korupsi birokratik tanpa terlebih dahulu memberantas kejahatan korupsi politik yang merupakan biangnya korupsi. Kasus Wisma Atlet memberikan gambaran yang jelas mengenai praktik korupsi politik itu.

Dalam perang melawan korupsi, salah satu misi utama KPK sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 6 huruf c juncto Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/ atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000. 000,00 (satu miliar rupiah). Tujuan (ratio legis) yang merupakan jiwa (anima legis) ketentuan ini, khususnya ketentuan minimal jumlah kerugian negara, menunjukkan bahwa medan perang utama KPK itu adalah kejahatan korupsi politik.

Maka, untuk memulihkan kepercayaan publik dan untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diamanatkan Pasal 6 huruf c juncto Pasal 11 tersebut, sudah seharusnya KPK melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap kasus-kasus korupsi politik. Penanganan kasus Wisma Atlet dan kasus-kasus lain yang diduga melibatkan Nazaruddin secara tuntas, tidak hanya merupakan cerminan kesungguhan KPK dalam memerangi korupsi politik tanpa diskriminatif. Tetapi, sekaligus merupakan batu ujian bagi KPK dan bagi kesungguhan kemauan politik (political will) pemerintah dalam memerangi kejahatan korupsi di negeri ini. 

*Artikel dimuat Suara Karya, Jumat 12/08/2011.


Readmore...

Mereposisi Makna Ramadhan

0 komentar
 
Oleh: Nazar Nurdin, 
peneliti muda di Lembaga Studi Sosial 
dan Agama (eLSA), Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang*




Hingga kini, mata hati kita masih meyakini Ramadhan sebagai bulan yang suci. Sebagai bulan pembawa berkah, Ramadhan tetap dipercaya sebagai terminal pahala sekaligus momen untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.

Bagi segenap umat Islam, kesucian Ramadhan terpatri dalam lubuk hati terdalam. Doktrin agama meresap jauh sampai ke relung hati. Konon, masyarakat percaya segala puncak ritual suci keagamaan ditumpahkan pada bulan Ramadhan. Maka, untuk menjaga kesucian, segala cara dilakukan guna meruwat tradisi yang dianggap positif. Meski demikian, sangat disesalkan bila praktik anarkis masih meruyak hingga menodai kesucian Ramadhan itu sendiri.

Dalam patologi demikian, setidaknya ada dua kata kunci atau mata sisi perspektif yang saling ambivalensi. Satu sisi, seringkali Ramadhan ditafsirkan sebagai bulan pendekatan diri kepada Tuhan secara utuh. Pemahaman terkait puasa pun jamak diisi dengan ritus-ritus keberagamaan yang bersifat positif, menjauhkan diri dari perilaku maksiat. Model ini diekspresikan oleh hampir seluruh umat Islam.

Di sisi lain, ada kasus praktik 'perpeloncoan' yang dipelopori organisasi massa (ormas) Islam tertentu, yang bermuara dari sikap prihatin atas makin menjamurnya praktik-praktik maksiat di tengah menjalankan ibadah puasa. Dengan dalih ketertiban umum, mereka biasa mengklaim tindakan kekerasan sebagai pembersihan dosa, penyucian diri, atau penghalalan atas segala macam bentuk maksiat.

Atas nama Ramadhan, tindakan 'perpeloncoan' seakan dibenarkan oleh agama. Mereka pun tak enggan berbicara atas dasar panggilan 'suci' agama. Akibatnya, tanpa saling menghormati sebagai warga penganut negara hukum, tindakan anarkis bertebaran. Padahal, kalau ditelaah bersama bahwa teks suci bersifat tertutup (corpus closed). Hanya manusia dengan akal pikirnya yang mampu menelaah dan mengartikulasikan teks yang mati (text of die) itu menjadi bermakna. Teks yang tentunya hendak membawa misi kebahagiaan bagi semua umat manusia dengan jalan damai dan akomodatif.

Dalam kamus besar agama, segala hal yang termasuk tindak aniaya, laiknya kekerasan ataupun bentuk penindasan kepada kelompok tertentu tidak selalu dibenarkan, meski atas dasar mencegah kebatilan. Sejatinya, Ramadhan merupakan waktu untuk memopulerkan diri bagi seseorang yang benar-benar ingin mencari jalan pencerahan.

Ramadhan mengajarkan prinsip welas asih, rahmat bagi segala umat manusia di alam nyata, rahmatal lil alamin. Ramadhan disediakan Tuhan sebagai ruang suci, ruang pertapaan bagi manusia. Ruang suci dengan harapan dapat menekan keburukan dari dalam diri, dan melatih sifat buruk dalam hati agar tidak semakin bertindak liar.

Dengan demikian, puasa sejatinya memberi "petuah suci" dengan cara menahan diri dari hal yang bersifat duniawi. Doktrin agama mensinyalir adanya kebobrokan moral jika manusia hanya menuruti kehendak duniawi. Firasat agama pun benar, dan doktrin agama kian menjadi populer. Dan, selagi manusia masih berada di atas bumi, kebobrokan moral pun tak bisa terelakkan. Cara ampuh adalah menaati perintah dari agama sebagai jalan penuntun hidup di dunia.

Namun, bagi kelompok tertentu, Ramadhan cenderung dilakukan dengan kebiasaan berbeda, bias dengan kultur agamis itu sendiri. Ini terjadi manakala kekerasan fisik atas nama Ramadhan terjadi. Gema takbir pun tak jarang menjadi awal momentum dalam setiap aksi hingga tak sedikit yang bertuah menjadi bencana kemanusiaan. Ruang yang disediakan Tuhan berganti dengan simbol-simbol agamis. Kesucian doktrin agama pun dipertanyakan.

Kondisi demikian tentunya kian memicu masyarakat untuk menghayati kembali doktrin-doktrin agama. Bagi orang yang tetap percaya, dengan sendirinya mereka akan mempraktikkan hal yang dianggap baik. Sebaliknya, mereka akan turut andil bertindak keras terhadap perilaku maksiat sebagai suatu panggilan agama, meski dilakukan lewat jalur kekerasan, dengan menyerang tempat hiburan malam, karaoke, perjudian yang sarat perbuatan tercela, misalnya.

Mereka - kelompok Islam tertentu - berdalih bahwa Ramadhan sebagai bulan suci haruslah bersih dari sarang maksiat. Mereka biasa menggunakan "akal sempitnya" untuk kemudian merusak pranata sosial yang ada, fasilitas milik seseorang yang sah namun tetap dianggap menyalahi ketentuan agama. Tampilan agamis tidak selalu merepresentasi sikap yang agamis pula. Bukan tidak mungkin, ritual suci yang mereka suguhkan jauh dari realitas agama yang menyuruh manusia untuk memanusiakan manusia.

Sebagai negara hukum, tidak ada pihak yang dibenarkan melakukan tindakan 'perpeloncoan' terhadap ritus-ritus yang berbau maksiat. Negara Indonesia mempunyai aturan hukum yang dapat memaksa siapa pun yang melanggar aturan. Dengan alasan apa pun, tindakan mereka tidak bisa diterima secara akal sehat, apalagi bertindak sesuai komando seseorang yang membuat tafsiran sempit, dan tidak kontekstual. Pemahaman ini bersifat simpel, ekslusif, sesaat, dan tentunya tidak sesuai dengan kenyataan jika diartikulasikan dalam kehidupan.

Mestinya melalui Ramadhan ini, ajaran mengenai prinsip hidup secara in absentia telah dipersembahkan agama. Mereka yang mencari rizki di jalan Ramadhan tidak selalu menampilkan erotisme, seksualitas dan tindakan makar pada agama. Sudah saatnya perilaku kekerasan dijauhkan dari kehidupan ini. Lewat event Ramadhan, kita mestinya bisa mengaca diri, apakah perilaku kita sejalan dengan doktrin agama dan sesuai kehendak nurani terdalam kita.

Tugas awal yang harus diemban, yakni mengembalikan kesucian Ramadhan dengan sikap toleran kepada sesama, damai, aman dan jauh dari rasa teror dan bentuk-bentuk anarkis.



*Artikel dimuat Suara Karya, Jumat 12/08/2011



Readmore...

Membangun Budaya Mutu di Perguruan Tinggi

0 komentar
 
Oleh: Dwiwahju Sasongko, Mantan Dekan FTI-ITB, Anggota BAN-PT-Wakil Ketua Komite HPT-PII*


Jika kita membeli produk elektronik, seperti telepon genggam, di bagian dalam atau luar produk tersebut tersebut tertempel stiker yang berisi tulisan Passed QC (quality control). Tanda ini menunjukkan bahwa produk tersebut telah melalui pengujian sehingga memenuhi standar yang berlaku, misal SNI (Standar Nasional Indonesia). Produk yang dihasilkan pabrik seperti di atas adalah benda mati sedangkan Perguruan Tinggi (PT) menghasilkan lulusan (manusia), karya ilmiah, hak atas kekayaan intelektual (paten, hak cipta, dsb), teknologi, proses, produk, prototipe, dsb. Untuk keperluan tersebut, PT harus memiliki sistem penjaminan mutu internal (SPMI) yang terintegrasi dengan proses pendidikan dan kegiatan tridarma lainnya.

Setiap PT harus obyektif dalam melakukan evaluasi diri (self evaluation). Evaluasi diri (internally driven) merupakan salah satu kegiatan dalam SPMI. Kata kunci dalam pelaksanaan evaluasi diri adalah kejujuran. Evaluasi diri harus dilakukan sendiri (bukan oleh konsultan) sehingga dapat menampilkan 'ruh' PT. Sebuah PT yang tidak jujur dalam melakukan evaluasi diri akan menuai kerugian di masa yang akan datang.

Apakah evaluasi diri cukup? Tentu tidak. Perlu ada pihak eksternal yang melakukan evaluasi. Evaluasi eksternal ini merupakan bagian dari Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SMPE) dan dilakukan melalui akreditasi oleh lembaga independen yang berwenang dan kredibel. Cantik/tampan menurut diri sendiri akan beda dengan evaluasi orang lain jika dilakukan dengan standar yang berbeda. Agar selaras, PT harus mengadopsi standar yang berlaku. Standar mutu bersifat dinamik dan berubah seiring dengan perkembangan pendidikan tinggi dan paradigma penjaminan mutu.

Pada saat ini, secara legal Badan Akreditasi Nasional-Perguruan Tinggi (BAN-PT) adalah satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan akreditasi pada jenjang pendidikan tinggi di Indonesia. Akreditasi memberikan informasi kepada msyarakat tentang mutu PT atau program studi dan merupakan pertanggungjawaban PT kepada publik.

Standar untuk pejaminan mutu
Untuk keperluan SPMI dan SPME, PT harus memenuhi standar yang telah ditetapkan. Pemerintah telah menerbitkan PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) sebagai tindak lanjut UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). SNP terdiri dari delapan standar yaitu: isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, *) Mantan Dekan FTI-ITB, anggota BAN-PT, Wakil Ketua Komite HPT-PII, dan penilaian pendidikan. Jumlah standar, tingkat kedalaman, dan cara evaluasi yang digunakan di satu negara mungkin berbeda dengan negara lainnya, tetapi cakupan sama yang dievaluasi sama.

BAN-PT telah, sedang, dan akan melakukan perbaikan instrumen akreditasi. Instrumen akreditasi versi 2001 telah diganti dengan versi 2009/2010 dengan memperhatikan UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, PP No 19/2005 tentang SNP, serta paradigma penjaminan mutu yang semula input based bergeser ke processoutput based dan bahkan ke outcomes based. Instrumen yang saat ini bersifat generik akan dikembangkan dan disesuaikan dengan bidang-bidang keilmuan dengan penyusunan suplemen instrumen. Di masa depan, instrumen akreditasi untuk program studi bidang kesehatan akan berbeda dengan instrumen akreditasi bidang teknik, dan sebagainya.

BAN-PT telah menjalin kerjasama dengan sejumlah institusi/asosiasi seperti KKI, IAI (Akuntan), IAI (Apoteker), PII, IDI, PPNI, IBI, PDGI, HIMPSI, AIPKI, AFDOKGI, APTFI, APNI, AIPKIND, dsb untuk menyusun instrumen akreditasi program pendidikan profesi. Instrumen ini disusun dengan mengacu pada SNP dan standar pendidikan profesi yang telah ada. Dengan demikian, akreditasi yang dilakukan oleh BAN-PT juga mencakup program pendidikan profesi. Sebagai contoh, salah satu target Proyek Health Professional Education Quality (HPEQ) yang dikelola Ditjendikti Kemdiknas serta melibatkan BAN-PT dan Kementerian Kesehatan adalah terbentuknya Lembaga Akreditasi Mandiri Bidang Kesehatan. Dengan terbentuknya lembaga akreditasi mandiri (LAM) yang dimungkinkan dengan peraturan dan perundangan yang berlaku, fungsi BAN-PT mungkin berubah menjadi lembaga yang mengakreditasi LAM. Model ini terdapat di negara-negara yang telah maju sistem penjaminan mutu pendidikannya.

BAN-PT juga melakukan aliansi strategis internasional untuk memperoleh pengakuan dengan menjadi anggota dan aktif berperan dalam Asia Pacific Quality Network (APQN), International Network for Quality Assurance Agency for Higher Education (INQAAHE), Asean Quality Assurance Network (AQAN) dan Quality Assurance Agencies of the Islamic World (QAAIW), dan secara bilateral dengan lembaga akreditasi di beberapa negara. BAN-PT bersama Persatuan Insinyur Indonesia (PII) mendukung upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu penandatangan Washington Accord. Dengan menjadi penandatangan Washington Accord, program studi bidang teknik yang telah diakreditasi oleh lembaga yang menandatangani kesepakatan ini akan diakui oleh semua lembaga penandatangan kesepakatan ini di seluruh dunia. Upaya ini merupakan internasionalisasi dan tidak dapat dilepaskan dengan penjaminan mutu eksternal.

Penutup

Untuk dapat membangun budaya mutu, pimpinan PT, seluruh dosen dan staf pendukung akademik harus memberikan komitmen untuk melakukan peningkatan mutu berkesinambungan (continuous quality improvement = CQI). PT harus memiliki sistem manajemen mutu (quality management system = QMS) yang dapat menjamin pelaksanaan CQI. Penjaminan mutu dilakukan bukan karena terpaksa, tetapi karena dorongan untuk memperbaiki diri. Tentunya, pemerintah melalui Kemdiknas harus mendukung upaya peningkatan mutu PT ini.



*Artikel dimuat Republika, Senin 08/08/2011.
Readmore...

RESONANSI Republika: Islam dan Demokrasi di Indonesia dan Turki (Sebuah Perbandingan)

0 komentar
 
Oleh: Syafi'i Ma'arif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah*

Guru saya almarhum Fazlur Rahman pernah mengatakan bahwa kebangkitan Islam yang sejati bukan berasal dari dunia Arab atau Pakistan, tetapi dari Indonesia dan Turki. Salah satu alasannya adalah karena kedua bangsa ini, di samping mayoritas penduduknya Muslim, juga tidak terbebani oleh konflik panjang teologis di kelampauan sejarahnya. Kedua bangsa ini lebih terbuka untuk menyerap gagasan-gagasan baru yang lebih segar.

Indonesia dengan penduduk 240 juta (88 persen Muslim) dan Turki 78 juta (97 persen Muslim) memang merupakan potensi sumber daya manusia yang dahsyat jika mendapat bimbingan dari para pemimpin yang mencerahkan. Bedanya, bumi Turki telah melahirkan seorang Recep Tayyip Erdogan, Deng Xiaoping-nya Turki, yang visioner dan karismatik, sedangkan Indonesia masih menanti kedatangan pemimpin tipe itu.

Nama Erdogan sekarang sudah sangat mendunia, tokoh-tokoh partai Islam di Indonesia umumnya jago kandang, hampir tanpa kecuali. Mereka sibuk dengan diri dan partainya masing-masing, tak punya waktu untuk melakukan perenungan mendalam tentang masalah bangsa dalam kaitannya dengan keislaman.
   
Dari sisi keragaman suku bangsa, Indonesia jauh lebih kompleks daripada Turki yang relatif homogen, sekalipun ada suku Kurdi yang ingin melepaskan diri dari Ankara. Mengenai kepartaian, kedua negara sama-sama memiliki sistem multipartai, tetapi di Turki telah muncul AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan) yang memenangkan pemilu sejak tahun 2002.

AKP memang tidak membawa simbol Islam dalam namanya, tetapi seluruh dunia tahu bahwa partai ini bercorak Islam secara ideologis. Di Indonesia, partai-partai Islam sangat beragam dan sering berpecah-belah dan baku-hantam sesama mereka, bahkan tidak jarang berasal dari subkultur yang sama.
   
Secara teoretik, kedua bangsa Muslim ini sama-sama bertekad untuk membangun sistem demokrasi yang sehat dan kuat. Bedanya, di Turki demokrasi adalah alat untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat banyak, sekalipun belum merata. Di Indonesia, demokrasi masih berkutat pada tingkat seremoni dan teknis, belum banyak mengubah nasib rakyat yang merindukan keadilan dan kesejahteraan.

Di Turki, menurut Transparensi Internasional, tahun 2010 indeks korupsi berada pada nilai 4.4, sedangkan Indonesia 2.8. Dengan demikian dalam masalah korupsi kedua negara masih dalam kategori angka merah, sekalipun Turki sedikit lebih baik. Numibia, Malaysia, dan Turki sama-sama berada pada angka 4.4. Negara-negara yang senasib dengan Indonesia adalah Bolivia, Gabon, Kosovo, Solomon Islands, dan Benin, sama-sama dengan angka 2.8. Artinya pada keenam negara ini korupsi itu telah melingkari sekujur tubuh mereka. Kapan lingkaran itu dapat diputus, tak seorang pun bisa mengatakan.

Indonesia memang punya KPK, tetapi baru berhasil menangkap koruptor-koruptor kelas ratusan atau paling miliaran rupiah. Kelas triliunan belum terjamah. Saya sudah lama mengatakan bahwa negara ini tidak serius dakam upaya pemberantasan korupsi, sekalipun presidennya telah mengeluarkan seribu instruksi, tetapi siapa yang hirau?
   
Kembali kepada masalah demokrasi dan Islam di Indonesia dan Turki. Kedua bangsa ini sudah punya modal besar untuk mengembangkan sistem demokrasi yang sehat dan berdaya guna karena secara teologis sudah terselesaikan. Baik Indonesia maupun Turki, tidak lagi menghadapi kendala apa pun dari sisi syariah untuk menjadikan demokrasi sebagai media efektif bagi kepentingan pendaratan moral Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Masalah besar untuk Indonesia adalah para pemain demokrasinya berada pada tingkat medioker. Hanya sekelompok kecil dari mereka yang benar-benar memahami bahwa sistem demokrasi itu dipilih adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejaheraan umum, tanpa kecuali. Tetapi, dengan segala borok yang masih menyertai perjalanan demokrasi di Indonesia dan Turki, satu modal sudah di tangan: Islam dan demokrasi telah aman secara teologis. Ke depan adalah mengisi demokrasi itu dengan nilai-nilai moral Islam, demi tegaknya keadilan dan meratanya kesejahteraan!
Readmore...

RESONANSI Republika: Tasawuf Hari Ini

0 komentar
 
Oleh: Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta*


Ibadah puasa merupakan salah satu aspek integral dari latihan jasmani dan rohani (riyadhah jasmaniyah wa ruhaniyah) dalam tasawuf. Melalui ibadah ini pengembara di jalan tasawuf (salik) dapat meningkatkan kualitas rohaninya-mencapai tingkatan (maqam) kerohanian lebih tinggi.

Indonesia mewarisi tradisi tasawuf yang begitu kaya sejak Islam pertama kali menyebar di kawasan ini. Bahkan, para penyiar Islam di tanah air adalah para guru sufi pengembara yang datang dari satu tempat ke tempat lain untuk memperkenalkan Islam inklusif dan akomodatif sehingga Islam lebih mudah diterima masyarakat lokal. Meningkatnya ortodoksi fiqih sejak abad 17 tidak menjadikan tasawuf tersingkir; sebaliknya aspek esoteris Islam ini kian menguat pula karena ia setia berada dalam kerangka Islam eksoteris.

Tasawuf tetap bertahan sampai hari ini. Dan pada saat yang sama, juga bertahan mispersepsi tentang tasawuf. Masih banyak kalangan yang menganggap tasawuf sebagai penyebab keterbelakangan Muslim karena menurut mereka tasawuf hanya menyebabkan pasivisme. Bahkan, tasawuf dalam pemahaman sementara kalangan Muslim hanya mengandung konsep, ajaran, dan praktek bid'ah yang membuat kaum Muslimin terjauh dari 'Islam murni'.

Terlepas dari mispersepsi itu tasawuf tetap bertahan; ia tidak tersingkir dalam gelombang modernisasi dan globalisasi yang demikian kencang. Bahkan, sebaliknya tasawuf terus menemukan momentum. Pengamalan tasawuf  konvensional secara personal-individual dan kelompok atau melalui tarekat terus bertahan. Pada saat yang sama juga muncul bentuk-bentuk pengamalan baru yang menampilkan semacam 'pseudo-Sufism' karena tidak konvensional dan cenderung campur aduk dengan praktek yang sejatinya bukan berasal dari tradisi tasawuf mu'tabarah.

Terlepas dari gejala terakhir ini, tasawuf tetap dipandang banyak kalangan Muslim dan non-Muslim pengkaji tasawuf sebagai mengandung banyak ajaran dan praktek positif. Multaqa ('pertemuan') tasawuf internasional Sufisme yang diselenggarakan PB NU pada pertengahan Juli 2011 lalu misalnya berkesimpulan, tasawuf dapat memainkan peran penting dalam membangun jiwa dan karakter yang menjunjung tinggi kedamaian dan perdamaian sehingga mengurangi berbagai bentuk potensi dan aksi kekerasan yang kian mewarnai kehidupan keagamaan belakangan ini.

Tetapi, aspek tasawuf manakah yang paling relevan bagi terwujudnya kedamaian itu? Pertanyaan ini patut diajukan karena tasawuf juga tidak monolitik, tetapi juga mengandung kategori-kategori dan aspek-aspek ajaran yang rumit dan karena itu tidak mudah dipahami.

Misalnya saja, banyak tokoh pemikir dan pengamal tasawuf sendiri membagi tasawuf menjadi dua: tasawuf falsafi dan tasawuf amali atau tasawuf akhlaqi. Jika tasawuf falsafi mengandung banyak konsep berbau filosofis teoritis dan spekulatif, tasawuf amali sebaliknya menekankan pentingnya peningkatan akhlak dan amal ibadah untuk mencapai tingkat kerohanian lebih tinggi sehingga para pengamalnya dapat lebih dekat dengan Allah SWT.

Kedua kategori tasawuf itu mendapatkan akarnya di Indonesia. Tetapi, dalam sejarahnya, jika tasawuf falsafi pernah menciptakan kontroversi, pada pihak lain tasawuf amali teraktualisasi dalam diam. Seperti terungkap dalam seminar 'Melacak Jejak Tasawuf Filosofis di Indonesia' yang diselenggarakan ISIP dan ICAS di kampus UI pada 6 Agustus 2011 lalu, tasawuf falsafi, semacam wahdat al-wujud, mengandung aspek pemikiran dan konsep sangat kompleks dan rumit. Sementara tasawuf amali lebih menuntut para pengamal tasawuf meningkatkan ibadah dan amal salehnya dan sekaligus menyempurnakan akhlaknya.

Karena kerumitannya itu, tasawuf falsafi agaknya tidak terlalu relevan bagi kaum sufi awam. Aspek tasawuf ini lebih relevan bagi pengamal tasawuf yang sudah mencapai tingkat 'khas al-khawas'-orang 'elit' di antara elit tasawuf. Jika tasawuf dapat memainkan peran lebih besar dalam kehidupan Indonesia masa kini, maka itu lebih terkait dengan tasawuf akhlaqi. Relevansi itu terlihat kian jelas karena salah satu masalah pokok negara-bangsa Indonesia dewasa ini adalah kemerosotan akhlak pada berbagai tingkatan masyarakat.

Tasawuf akhlaqi mengajarkan peningkatan sikap dan perilaku positif, seperti sabar, tawakal, amanah, qanaah (cukup puas dengan apa yang dimiliki), dan banyak lagi. Banyak kerusakan akhlaq dalam masyarakat terjadi karena orang-orang tidak lagi mengamalkan nilai seperti itu; kian banyak orang tidak memiliki sikap sabar dan amanah; tidak pernah puas sehingga terus melakukan korupsi, misalnya. Jika, akhlaq bangsa ini bisa lebih baik, kaum Muslim sepatutnya meningkatkan pengamalan dan penerapan ajaran tasawuf amali dalam kehidupan sehari-hari secara konsisten dengan penuh istiqamah. 




Readmore...

Ramadhan dan Simbolisasi Agama

0 komentar
 
Oleh Taufiqurrahman SN, Peneliti Pada ARENA Literacy Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta*


Ramadhan telah datang, gerak-gerumuhnya menyihir segala lini kehidupan. Ramadhan memang bulan penuh berkah bagi semua orang;  Islam, Kristen, Buddha, Hindu, Konghucu bahkan ateis sekalipun, karena Ramadhan sendiri tidak beragama. Ramadhan hanya sebuah nama untuk membedakan dengan nama bulan yang lain. Sehingga, tidak beralasan mengklaim Ramadhan hanya milik orang Muslim, sementara orang lain dilarang mendekat-dekati.

Keberkahan Ramadhan dirasakan hampir setiap orang. Mulai dari orang miskin, anak jalanan, peminta-minta, sampai pengusaha sukses, bahkan Presiden pun mendapatkan sihir pancaran kehangatan Ramadhan. Gairah untuk beribadah tiba-tiba terasa kuat menyentak-nyentak. Bahkan, jauh hari sudah dipersiapkan agenda-agenda di bulan Ramadhan secara rapi.

Gemuruh perdagangan terlihat sesak berdesak-desakan menyajikan berbagai menu berbuka. Gerai, toko dan 'pasar siluman' banyak bermunculan di sepanjang jalan atau di tempat-tempat khusus. Laju perputaran ekonomi pun semakin deras, tanpa adanya kecurigaan-kecurigaan yang terselip di benak kita. Seakan-akan perayaan Ramadhan yang disambut dengan gemulai lonjakan harga bahan-bahan pokok, semaraknya mushala-mushala dan masjid-masjid, dianggap sebagai hal yang  wajar. Tanpa terlintas keganjilan sedikit pun.

Tetapi, kita jarang sekali --untuk tidak mengatakan 'tidak sama sekali-- Ramadhan yang dahulu sampai sekarang belum memberikan dampak realis terhadap keagamaan maupun kemasyarakatan secara masif. Apakah jangan-jangan pemahaman Ramadhan sebagai ajang untuk berlomba kebaikan telah terlupakan dan terabaikan oleh sifat-sifat rakus, egois, dan pragmatis. Sehingga, yang ditonjolkan adalah kulit luar dari puasa itu sendiri, yakni menahan makan dan minum dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.

Tak hanya itu, tradisi-tradisi filosofis semisal pemberian kuwe apem menjelang Ramadhan telah kehilangan nilai-nilai kemanusiaan maupun filosofisnya. Kata apem sendiri merujuk pada bahasa arab "afwan" yang artinya maaf atau memaafkan.

Hal ini sesuai perintah Nabi Muhammad yang mengajak umatnya untuk menyambut bulan Ramadhan dengan saling memaafkan. Namun secara implisit, nilai-nilai agung itu telah terdistorsi oleh perkembangan dunia modern. Masyarakat lebih mengutamakan tradisi sebagai ritual dan rutinitas setahun sekali, tradisi hanya dijadilan simbol agama tertentu, daripada pemahaman dan penghayatan nilai filosofis yang terkandung di dalamnya.

Kondisi seperti inilah yang dinamakan simbolisasi agama. Agama telah dibungkus nilai-nilai religiusitas yang memesona tanpa adanya artikulasi simbol secara filosofis. Media iklan yang berperan sebagai sarana untuk mencitrakan Ramadhan sebagai bulan yang berkah, penuh ampunan, religius, dan sosialis telah tergadaikan dengan tampilan-tampilan iklan yang cenderung kapitalis. Simbolisasi-simbolisasi keliru inilah yang semestinya dipahami sebagai realitas baru di bulan Ramadhan.

Realitas semu
Kejumudan masyarakat akan terpaan simbol-simbol agama tidak dibarengi dengan refleksi pribadi mengenai pemahaman beragama. Sehingga, masyarakat hanya berkutat dan berhenti pada simbol-simbol kaku tanpa adanya artikulasi lanjut terkait godaan simbol agama yang cenderung mengarah pada realitas semu. Realitas semu adalah bangunan abstrak yang tersusun secara rapi untuk mengubah dan membentuk perilaku sosial karena adanya proses simbolisasi.

Tak ayal, jika masyarakat kita dikatakan sebagai masyarakat simbolis, masyarakat yang lebih mengutamakan kulit luar daripada isi. Bahkan, tipuan-tipuan simbol sangat kentara di pelbagai lini kehidupan, mulai medan politik sampai budaya. Tipuan-tipuan simbol ini dijadikan alat untuk meraih kepentingan-kepentingan pribadi.

Sebagai contoh, proses pencitraan politik yang dilakukan oleh para politisi maupun aparatur negara merupakan dunia yang penuh dengan simbol dan kebohongan. Mereka sering memanfaatkan momentum religius untuk mencipta simbol "kebaikan" yang ditonjolkan lewat perilaku-perilaku positif. Semisal mengadakan acara buka bersama, tarawih bersama, maupun acara pribadi yang menonjolkan "sifat-sifat kemanusiaannya".

Namun, simbolisasi-simbolisasi itu sangat ironis, ketika kita masih menyaksikan kelaparan, kemiskinan, dan ketidakadilan di sudut-sudut kota dan di pelosok desa. Lebih menyayat hati lagi  ketika kita melihat tingkat korupsi yang semakin menjadi-jadi. Kita merasa ingin 'marah sangat' ketika di satu sisi patologi sosial (kemiskinan, kriminalisasi, ketidakadilan, dan pengangguran) menyeruak tanpa solusi, di sisi lain para politisi maupun aparatur negara melakukan korupsi bermiliar-miliaran uang rakyat.

Bahkan, anehnya tidak ada rasa bersalah yang terlukis sedikit pun di wajah para koruptor negeri ini, bahkan mereka bangga jika mampu berkorupsi dan mempermainkan rakyat. Di sisi lain kita disangsikan oleh pemahaman simbolisasi agama yang keliru. Di bulan Ramadhan, hampir setiap masjid melantunkan bacaan ayat-ayat suci melalui speaker yang terdengar gagah di angkasa.

Tapi, sayangnya ayat-ayat suci itu dipahami hanya sebatas teks-teks sakral atau simbol religiusitas dan syiar Islam. Sangat jarang yang memahami makna atau filosofi di balik teks-teks suci itu, sehingga yang terjadi adalah perilaku yang kadang justru sangat kontra-produktif dengan pesan-pesan teks suci tersebut. Teks suci berbicara tentang rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta), tapi ironisnya para pemeluknya justru mengganggu orang lain dengan merusak toko dan warung secara paksa.

Teks suci berkata bahwa shalat mencegah perbuatan keji  dan tercela, tapi ironisnya berapa persen orang yang ber-KTP Muslim  terjerat kasus korupsi? Inilah yang merupakan bahan refleksi kita bersama dalam beragama, selama ini kita masih terjebak pada realitas semu yang bercirikan mengagung-agungkan simbol dari pada nilai-nilai filosofis di baliknya.

Pada momentum bulan Ramadhan ini, sangat menarik apa yang pernah dikatakan M Amin Abdullah bahwa puasa yang terkandung dalam bulan Ramadhan tidak semata-mata sebagai "doktrin" kosong yang harus dijalani begitu saja, tanpa mengenal makna terdalam serta implikasi dan konsekuensi praktisnya dalam kehidupan nyata sehari-hari.

*Artikel dimuat Republika, Rabu 10/08/2011.
Readmore...

RESONANSI Republika: 'Durian Nazaruddin' dan Polisi

0 komentar
 
Oleh: Zaim Uchrowi*


Dua asrama itu bersandingan. Para mahasiswa di Bogor tahun 1970 hingga 1980-an mengenalnya dengan baik:  Felicia dan Ekasari.  Bukan semata karena para aktivis mahasiswa tinggal di sana. Asrama itu dikenal karena pohon durian yang tumbuh di sampingnya.

Bila musim durian tiba, riuhlah kedua asrama itu. Semua bersiaga menjadi yang pertama mengambil durian jatuh. Bagi yang belum tahu, durian tak dapat dipetik di pohon. Durian matang akan jatuh sendiri. Saat itulah semua berebut. Tak peduli apa agama, suku, angkatan, juga latar organisasinya. "Berebut durian tak mengenal ideologi," kata Chairil Anwar, mantan penghuni Ekasari yang kini menjadi pejabat di Kementerian Pendidikan Nasional.

Durian memang membikin tergila-gila. Segala hal dapat dikorbankan untuk makan durian. Walaupun, jika kebanyakan, dapat pula membuat mabuk. Gila dan mabuk durian itu ternyata bukan cuma secara harfiah. Gila dan mabuk durian juga dalam pengertian kiasan. Seperti yang terlihat dalam drama Nazaruddin. Mantan bendahara umum Partai Demokrat itu.

Dalam drama Nazar, 'durian' memang membuat gila. Hampir semua orang siap berebut durian. Ada yang malu-malu, tapi ada pula yang 'kemaruk' seperti Nazar sendiri. 'Durian' itu berupa triliunan uang negara yang dapat dibuat matang dan jatuh sendiri setelah dikemas dalam bentuk proyek-proyek. Kalau seperti itu kebanyakan orang, apa pun ideologinya, akan tergoda makan sebanyak-banyaknya.

Nazar makan 'durian' itu terlalu banyak hingga 'mabuk'. Dibangunnya rumah norak yang dapat menunjukkan dia kaya-raya. Ceceran durian yang dimakannya ada di mana-mana yang membuat dia cepat atau lambat tercium gelagatnya. Seperti pada kasus pembangunan wisma atlet SEA Games. Nazar pun terpeleset. Tak ingin sendirian, ia menyeret banyak nama lain yang telah mencicipi dan menikmati duriannya.

Belakangan ia berubah untuk lebih banyak menyebut nama tertentu. Beberapa nama penting yang sempat disebutnya kini seperti ia tutupi. Entah untuk apa. Sedemikian mabuk Nazar, sampai ia kabur. Menipu Tuhan dengan kelakuannya pun ia berani, apalagi kalau cuma mengelabui saudara sebangsanya sendiri. Ia kabur hingga Kolumbia, sebelum kini harus diborgol dibawa pulang.

Pesta durian runtuhnya Nazaruddin sudah berakhir. Yang ikut menikmatinya kini sibuk mencuci tangan agar sisa pesta itu tak berbekas lagi. Tak mudah memang sebab bau durian tak dapat begitu saja hilang. Sekarang, setelah pesta itu berakhir, kini Nazarlah yang bagai durian. Nazar seperti durian matang dan jatuh bagi Kepolisian RI (Polri) yang tengah meneguhkan profesionalitasnya.

Akar profesionalitas sudah tertanam mendalam. Polri sering mencengangkan publik dengan profesionalitasnya mengungkap hal yang tak serba tak terduga. Dalam menangani masalah terorisme, misalnya. Banyak orang berdecak. "Kalau memang mau, polisi sebenarnya dapat membongkar kasus apa pun," kata seorang kawan. Hal yang juga tak mudah karena 'mau' polisi, di negeri yang sangat politis ini, sangat dipengaruhi oleh mau banyak pihak lain.

Pelarian Nazar menjadi durian runtuh bagi polisi untuk menunjukkan lagi profesionalitasnya. Tanpa banyak gembor-gembor, tanpa banyak hu-ha, polisi lewat jaringan Interpol mampu membekuk Nazar. Keprofesionalitasan polisi itu akan makin terlihat dalam melindungi Nazar sesampai di Tanah Air. Beberapa pengamat khawatir Nazar akan di-'Munir'-kan. Saya percaya, polisi akan mampu melindungi dari kemungkinan itu.

Bukan berarti posisi polisi tidak rawan. Nazar bukan saja durian bagi kerja profesional polisi. Nazar juga masih menyimpan banyak 'durian' yang dapat membuat 'kemaruk' siapa pun. Tanpa kecuali polisi. Polisi perlu mengimunisasi diri agar tidak 'kemaruk durian' Nazar yang memang menggiurkan. Umumnya, justru orang-orang yang tak terbiasa yang dapat menjadi sedemikian tergiur. Petani durian tak akan tergila-gila atau mabuk durian.

Semestinya di asrama mahasiswa itu dulu ditanam banyak pohon durian. Itu akan membuat semua menjadi terbiasa dan tak akan 'kemaruk durian' lagi. Prinsip itu perlu lebih disemaikan di bumi pertiwi, agar sedikit kemungkinan terlahir lagi orang seperti Nazaruddin di masa depan. Dengan begitu, polisi dapat membangun profesionalitasnya dengan tenang, tanpa harus menunggu durian jatuh yang ternyata busuk seperti Nazaruddin.

*Artikel dimuat Republika, Jumat 12/08/2011.
Readmore...