Opini

Jumat, 12 Agustus 2011

Ramadan dan Community-Based Tourism

0 komentar
 
Oleh: Dewa Gde Satrya, Dosen International Hospitality & Tourism Business, Universitas Ciputra*



MESKI ada anggapan bahwa memasuki Bulan Suci Ramadan sektor pariwisata memasuki masa paceklik, tetapi patutlah kita melihat dimensi lain yang tak kalah penting. Fakta menunjukkan, di bulan suci ini ada rahmat yang teramat besar bagi kepariwisataan yang mungkin saja sulit diperoleh di hari-hari biasa. Kajian kepariwisataan di bulan Ramadan tak melepaskan hakikat pariwisata.

Dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan disebutkan, pariwisata memiliki 10 tujuan: meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta Tanah Air, memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, serta mempererat persahabatan antarbangsa. Dalam konteks pariwisata untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat dan menghapus kemiskinan itu memiliki ruang implementasi yang jitu di bulan Ramadan.

Memang di bagian tertentu kepariwisataan terkesan redup, khususnya tempat hiburan. Tetapi, sektor perhotelan misalnya, justru memiliki kiat-kiat marketing yang andal menyikapi masa puasa yang konon secara matematis menurunkan omzet penjualan. Banyak hotel justru semakin berkibar dengan paket-paket Ramadan, dan nantinya kemasan paket menginap di hari Lebaran. Di sektor ekonomi kerakyatan, kepariwisataan justru semakin tumbuh di bulan Ramadan.

Wisata kuliner, misalnya, menjadi rujukan dan ladang yang menjanjikan pendapatan bagi umat yang berbuka puasa bersama keluarga dan handai taulan. Di perkampungan dan di area-area umum, ekonomi rakyat berbasis kuliner tumbuh menjamur. Segenap potensi masyarakat yang awalnya di hari-hari biasa terdiam, kini bergerak dinamis menyemarakkan kesucian Ramadan sembari menggali peluang penghasilan.



Community-based tourism (CBT) atau pariwisata berbasiskan kerakyatan, menempatkan masyarakat sebagai pelaku aktif dan pihak yang turut diuntungkan dalam geliat pembangunan sektor pariwisata. Event Ramadan ini tidak semata-mata bersumber dan bermuara pada kesucian setiap umat, dan kesucian kita sebagai satu bangsa, tetapi terlebih menumbuhkan pengalaman pembelajaran kepada segenap komponen masyarakat untuk turut merasa terlibat dan menjadi bagian penting dalam pembangunan.

CBT semasa bulan suci ini hanyalah sentuhan sesaat untuk menyatukan berbagai energi dan potensi masyarakat untuk selanjutnya melakukan percepatan peningkatan daya saing pariwisata di Tanah Air. Corak CBT di bulan suci ini dapat dimaknai seperti ini: secara ekonomi berarti ada uang yang mengalir ke kantong masyarakat secara langsung. Secara sosial berarti ada keguyuban dan kesaling-mengertian antarwarga bahwa setiap elemen memiliki peran yang sama-sama penting, dan secara politik menumbuhkan martabat dan kebanggaan sebagai warga masyarakat.

Melalui mekanisme dan rekaan seperti itu, selanjutnya dapatlah kita mendambakan terejawantahkannya idealisme kepariwisataan yang diadopsi dan diakui oleh negara-negara di dunia ini. Sekurangnya, falsafah dan cita-cita kepariwisataan global selalu direnungkan dan dirayakan bersama pada momentum World Tourism Day setiap 27 September. Tujuan peringatan ini adalah untuk meningkatkan kesadaran bahwa pariwisata sangat vital bagi peradaban dunia yang berdampak pada kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

Tema World Tourism Day berganti setiap tahun. Pada 2007 didedikasikan kepada perempuan. Tahun 2004 bertema sport and tourism. Tahun 2005 bertema tourism and transport. Dan tahun 2006 dengan tema tourism enriches. Sidang Umum UN-WTO, lembaga pariwisata dunia di bawah PBB akhir November 2007 di Kolombia, menetapkan tema Hari Pariwisata Dunia 2008 yang diadakan di Peru adalah pariwisata merespons tantangan perubahan iklim. Tahun ini dunia merayakan WTD dengan tema Tourism-Celebrating Diversity yang perayaannya akan dipusatkan di Ghana.

Medium pembelajaran seperti apakah yang membantu secara signifikan bagi penerapan tema-tema hari pariwisata dunia itu manakala segenap elemen masyarakat merasa tidak menjadi bagian penting dari kepariwisataan di daerah dan negaranya? Jawabnya tak lain melalui pengaktifan pola-pola CBT yang layak diberi ruang dan waktu (momentum), untuk selanjutnya ditumbuhkembangkan oleh pihak-pihak terkait sehingga menjadi suatu usaha mandiri yang berkontribusi bagi pelembagaan kepariwisataan di tataran masyarakat.

Kita menyadari, segenap kekuatan di Tanah Air, untuk membangun kepariwisataan, khususnya di daerah-daerah yang baru mendeklarasikan dan menyiapkan diri sebagai destinasi wisata dunia, belum terlembaga dengan baik dan bergerak dinamis. Masing-masing baru sekadar mengandalkan sektor perhotelan, agen perjalanan wisata, cruise line dan air line, restoran berkelas dan bertaraf internasional. Tidakkah itu hanya segelintir potensi yang sebetulnya teramat rawan bila tidak didukung oleh kekuatan ekonomi rakyat yang bergerak dinamis menyemarakkan perputaran ekonomi di sektor pariwisata?

Menbudpar Jero Wacik sendiri menaruh harapan besar agar segera terwujud zero unemployment sembari mengarahkan program pemerintah agar pro-job dan zero unemployment di sektor pariwisata. Tetapi, tidak dapat kita lupakan operasionalisasi dan pengembangan kepariwisataan di dalam negeri membutuhkan semakin banyak keterlibatan masyarakat yang dengan kekhasannya tersendiri melakukan sesuatu yang produktif, unik, dan unggul serta berkontribusi nyata bagi kepariwisataan di daerah masing-masing.


Gagasan dan idealisme itu menjadi harga yang mahal dan sulit tertandingi di momentum apa pun. Kesucian yang berpadu dengan kesadaran untuk membangun ketahanan dan daya saing kepariwisataan Tanah Air dengan basis keterlibatan sebanyak-banyaknya masyarakat sebagai pihak yang paling diuntungkan, adalah berkah yang tersembunyi di bulan suci ini. 



*Artikel ini dimuat Harian Jurnal Nasional, Jum'at 12/08/2011.


Leave a Reply