Opini

Jumat, 12 Agustus 2011

Menunggu Pinokio Politik

0 komentar
 
Oleh: Toto Suparto, peneliti di Pusat Kajian Agama dan Budaya (Puskab) Yogyakarta*



Dok MataNews

PINOKIO memang hanya kisah sebuah boneka, sesuai judul aslinya ”Storia di un Burattino” di negeri Italia. Buku itu pertama terbit di sana tahun 1883, dan sampai sekarang diterjemahkan lebih dari 90 bahasa, termasuk Bahasa Indonesia, sehingga anak-anak kenal benar karakternya. Tanyakan kepada anak-anak, apa yang mereka ketahui tentang Pinokio? Pasti sebagian besar menjawab, ”Suka berbohong. Kalau berbohong hidungnya tambah  panjang!” Begitulah karakter universal Pinokio: pemalas, naif, kadang tampak bodoh, ingkar janji pada Geppeto, sering melarikan diri, menjulurkan lidah, dan menertawakan Geppeto. Siapa Geppeto? Ia adalah tukang kayu yang membuat boneka Pinokio. Pada akhir cerita, Pinokio berubah menjadi anak yang baik dan sayang kepada Geppeto.
Dalam politik di negara kita, Pinokio mudah dijumpai. Banyak politikus tidak segan berbohong, atau menuduh lawan politik atau malah koleganya berbohong. Yang berbeda dari Pinokio, politikus kita ketika berbohong hidungnya tidak bertambah panjang. Karena itu, nanti kalau Nazaruddin sudah di Jakarta, rakyat menebak: siapakah yang bakal jadi ”Pinokio”? Ada beberapa nama berpeluang. Nama yang disebut Nazaruddin saat wawancara via Skype, Kamis (21/7) malam misalnya, antara lain Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai Demokrat), Angelina Sondakh (anggota DPR/ FPD), Andi Alifian Mallarangeng (politikus PD yang jadi menteri), I Wayan Koster (anggota DPR/ FPDIP) dan beberapa dari KPK. Nazaruddin pun bisa menjadi ”Pinokio”.
Nazaruddin menuduh Anas melakukan praktik money politics saat pemilihan ketua umum Demokrat. Anas membantahnya dan menganggap Nazaruddin berhalunisasi. Kemudian Angie dan Koster disebutnya menerima uang miliaran rupiah. ”Ini ada flashdisk-nya, siapa yang menerima, uangnya dari mana. Semua tercatat, di sini,” begitu kata Nazar dalam wawancara itu. Andi juga dikaitkan dengan kasus wisma atlet SEA Games di Palembang.
Karakter Machiavellian
Apa yang muncul itu membuat rakyat bingung, siapa yang berbohong? Mana mungkin seorang Anas atau Angelina bisa berbohong? Jangan-jangan Nazaruddin yang justru menebar kebohongan. Namun apapun alasan keraguan itu, jika ditelisik lebih jauh maka bakal ketahuan bahwa kebohongan itu mungkin saja bisa mereka lakukan. Seorang Anas, seorang Angelina, adalah makhluk politik yang tidak luput dari berbohong. Kebohongan hal biasa dalam berpolitik. Inilah karakter politikus machiavellian.
Machiavelli menyatakan tak ada kejahatan dalam politik, yang ada hanya kesalahan kecil. Bahkan ia menyarankan menetapkan tujuan dengan segala cara karena semua dianggap halal. Maka, jangan bicara soal kejujuran dalam politik, meski William Shakespeare menyatakan, ”Jujurlah pada diri sendiri, lakukan dengan setia, bagai malam berganti siang, maka engkau mustahil berbohong kepada orang lain”. Kalimat ini merupakan nasihat Polonius kepada putranya, Laertes, dalam bagian dari drama Hamlet.
Ketika kebohongan bersanding dengan politikus, atau oposisi binernya adalah kejujuran jauh dari politkus, saat itu pula kebenaran susah diungkap. Secara epistemologi, kejujuran merupakan metode untuk mencapai kebenaran. Pendek kata, bilamana mau mengungkap kebenaran maka kejujuran jadi pegangan utama. Dari sini banyak khalayak bertanya-tanya, setelah Nazaruddin ditangkap, lalu? Mungkinkah Pinokio dalam karut-marut Partai Demokrat bisa ditemukan? Namun banyak yang mengkhawatirkan, justru rekayasa politik bakal menggiring Nazaruddin menjadi Pinokio tunggal.
Kita tunggu saja Nazaruddin, apakah ia bakal mengungkapkan semua nyanyiannya (baik lewat SMS, BBM maupun Skype), saat berbicara di ranah hukum? Publik, entah lewat media atau jejaring sosial, mesti saling bahu-membahu mengontrol nyanyian Nazaruddin jangan sampai dilenyapkan. Kita punya kepentingan sama, yakni menyingkirkan Pinokio dari jagat politik.
*Artikel dimuat Suara Merdeka, Jumat 12/08/2011

Leave a Reply