Opini

Jumat, 12 Agustus 2011

Bung Hatta dan Nasib Koperasi

0 komentar
 
Oleh: Mukhaer Pakkanna, Rektor STIE Ahmad Dahlan Jakarta*

Satu hal yang kerap kita kenang dalam pelajaran di sekolah, sejak Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT), yaitu Bung Hatta adalah Bapak Koperasi Indonesia. Dari gagasannya, koperasi Indonesia berkembang. Dia telah merumuskan dalam konstitusi kita (Pancasila dan UUD 1945) bahwa dasar ekonomi Indonesia adalah koperasi. Seiring perkembangan zaman, koperasi mulai ditinggalkan banyak orang, bahkan oleh perumus kebijakan pembangunan ekonomi saat ini pun telah melupakannya.

Maka, seiring kian keroposnya ideologi ekonomi Pancasila, baik dalam konstitusi ekonomi maupun praktik berekonomi, akhirnya pilar demokrasi ekonomi pun mengalami stagnasi. Koperasi misalnya, sebagai pilar utama demokrasi ekonomi menjadi keropos, diawali sejak adanya amandemen UUD 1945 pada 2002. Dalam penjelasan Ayat (1) Pasal 33 UUD 1945, secara terang benderang dihapus kata "koperasi".

Implikasinya, wujud kebijakan, komitmen, dan perhatian pemerintah dalam mengembangbiakkan spirit koperasi di tengah masyarakat terkoyak. Konsekuensinya, koperasi pun pudar dan hanya menjadi kumpulan modal, bukan lagi kumpulan berbasis anggota. Koperasi hanya dijadikan proyek politik dan keuntungan ekonomi segelintir elite, bukan lagi menjadi program yang didasarkan kondisi objektif rakyat yang sifatnya partisipatif.

Tidak heran, jika banyak koperasi kolaps dan sekadar papan nama. Data Kementerian Koperasi dan UKM (2010) menyebutkan, sekitar 43.241 dari 175.201 unit koperasi di Indonesia tidak aktif, dan sebagian hanya papan nama. Ironisnya, dari 97.347 unit yang masih aktif, hanya 46.541 yang melaksanakan Rapat Anggota Tahunan (RAT). Ini pertanda pemerintah tidak mengambil langkah-langkah preventif membudidayakan spirit koperasi (cooperative).

Padahal, menurut Bung Hatta, koperasi sejatinya memiliki khazanah historis dan kultural lokal yang sudah lama berurat-berakar dalam tradisi bangsa Indonesia. Prinsip asas dan perilaku gotong-royong, kesetiakawanan, kekeluargaan, dan tolong-menolong, sesungguhnya merupakan spirit dan raison d'etre adanya bangsa kita.

Nasib Koperasi
Secara historis, gerakan koperasi awalnya diinisiasi di Eropa. Dalam perkembangannya, gerakan tersebut ternyata mampu menggerakkan roda ekonomi rakyat secara global. Perkembangan itu membuat Bung Hatta menaruh minat untuk mengembangbiakkan koperasi di Tanah Air. Bung Hatta beralasan, koperasi di negara-negara kampiun kapitalisme saja bisa tumbuh dan ekpansif, tentu lebih potensial lagi jika koperasi dikembangkan di Tanah Air.

Alasan itu sungguh mendapat justifikasi historis, terkait dari karakter dan jiwa bangsa Indonesia yang sejak nenek moyang dahulu mengenal dan melakoni spirit prinsip dan asas-asas koperasi.

Selain justifikasi historis dan kultural, Bung Hatta kemudian memperjuangkan dan menyusun konsep ekonomi kerakyatan melalui justifikasi yuridis. Pasal 33 UUD 1945 secara eksplisit mendeklarasikan koperasi sebagai wadah demokrasi ekonomi kerakyatan. Demokrasi ekonomi, kata Hatta, ditandai oleh, "dilakukannya produksi oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat".

Sri Edi Swasono (2003) menyebutkan, dalam rangka demokrasi ekonomi, semua anggota masyarakat harus turut serta dalam melakukan produksi, turut menikmati hasil-hasilnya, dan yang lebih penting, turut serta dalam mengendalikan keberlangsungan proses produksi dan distribusi.

Idealisasi koperasi itu nyaris tinggal kenangan. Sebab, praktik-praktik berekonomi yang dipertontonkan elite ekonomi dan politik lebih banyak berideologi pragmatis. Di tengah kian kondusifnya prospek ekonomi Indonesia yang dihela oleh sektor non-tradable, seperti air dan listrik, gas, transportasi dan komunikasi, jasa konstruksi, dan turisme, yang tumbuh 8,1 persen pada 2010, kontribusi gerakan koperasi terhadap sektor tersebut tampak minimal.

Bahkan, secara agregat terhadap PDB, kontribusinya masih di bawah angka satu hingga dua persen. Bagaimana mungkin menjadi pelaku utama atau saka guru ekonomi nasional jika kinerja koperasi masih menyedihkan? Kalau pun ada dan menjadi pelaku dalam sektor-sektor strategis tersebut, spirit koperasinya kemungkinan sudah hilang karena banyak koperasi telah dikuasai oleh segelintir pemodal besar yang "berjubah" koperasi.

Selain itu, spirit koperasi juga telah lama lumpuh di tengah masyarakat. Kalau pun data Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan bahwa koperasi meningkat rata-rata 23 persen per tahun dan pada 2010 telah mencapai 175.201 unit, peningkatan itu tidak paralel dengan peningkatan jiwa, pemahaman, dan implementansi konsep koperasi yang sesungguhnya.

Malah, penurunan angka kemiskinan yang diklaim pemerintah "tinggal" 12,49 persen (30,02 juta jiwa pada Maret 2011), tampaknya berbanding terbalik terhadap peningkatan jumlah koperasi yang menakjubkan. Ini menandakan, koperasi yang tumbuh itu bukan koperasi sejati, melainkan koperasi yang tumbuh karena adanya sikap pragmatisme segelintir orang untuk mendirikan dan mengelola koperasi karena adanya kebijakan pragmatisme ekonomi di setiap strata pemerintahan.

Ekonomi Kebersamaan 
Dalam pemikiran Bung Hatta, sejatinya koperasi didirikan atas prinsip kebersamaan, senasib, dan sepenanggungan untuk bergerak meningkatkan kesejahteraan bersama. Namun, karena sikap pragmatisme ekonomi yang berkembang, maka makna kebersamaan luntur.

Kesenjangan pendapatan antarpenduduk menganga lebar, menandakan lunturnya kebersamaan itu. Bayangkan, jika rasio tersebut-yang menunjukkan kesenjangan ekonomi-masih membesar dari 0,29 menjadi 0,35 pada 2010.

Lebih dari itu, orang kaya di Indonesia, seperti dilaporkan Asia Wealth Report (2010), menyimpan 33 persen aset kekayaannya dalam bentuk deposito/tabungan, realestat (22 persen), saham (19 persen), reksa dana pendapatan tetap (16 persen), dan investasi alternatif, seperti kurs mata uang asing atau komoditas (10 persen). Distribusi penyimpanan kekayaan ini terlihat tidak satu pun diperuntukkan untuk pengembangan bisnis dalam membangun kebersamaan dengan masyarakat lokal, semacam koperasi dan lembaga-lembaga keuangan mikro lainnya.

Mengingat semakin lunturnya spirit kebersamaan akibat pragmatisme ekonomi menggelayuti semua pelaku ekonomi, semakin jelas perlunya reideologisasi ekonomi Pancasila. Maka, langkah yang perlu dilakukan, pertama, perlunya pelibatan tokoh-tokoh lokal di tingkat akar rumput untuk mengembangbiakkan kembali nilai-nilai ekonomi kebersamaan dan kegotong-royongan. Kedua, perlunya peran perguruan tinggi dan lembaga nonpemerintah untuk intensif menggarap dan membudidayakan spirit koperasi di tengah masyarakat.

Ketiga, mengurangi keterlibatan pemerintah dalam membantu koperasi dalam bentuk charity dan bernuansa politik, serta membangun pencitraan (image building). Jika solusi ini digerakkan, niscaya koperasi berkembang biak. Pun, spirit Bung Hatta untuk mengembangkan dan memajukan ekonomi rakyat akan semakin mendapat tempat dalam perumusan kebijakan nasional.



*Artikel ini dimuat Koran Jakarta, Jum'at 12/08/2011.

Leave a Reply