Opini

Jumat, 12 Agustus 2011

Dari Tokoh Partai ke Umat (100 Tahun KH Abdul Gaffar Ismail)

2 komentar
 
Oleh: A Hakam Naja, Anggota Penasihat Yayasan Abdul Gaffar Ismail, Wakil Ketua Komisi II DPR Fraksi PAN*


Ratusan orang yang memenuhi gedung yang biasa digunakan untuk pembukaan pengajian malam Selasa Yayasan Abdul Gaffar Ismail, Jalan Bandung 60, Pekalongan, Senin (28/6/2010) malam, serasa larut dalam emosi sang penyair tatkala Taufiq Ismail membacakan tidak kurang dari delapan puisi religi hasil karyanya.

Sesaat sebelum membacakan puisi ke empatnya, seluruh pengunjung yang hadir turut dalam suasana haru karena Taufiq terbawa emosi-menitikkan air mata-ketika ia menceritakan bahwa ayahnya, Abdul Gaffar Ismail, dan ibunya, Sitti Nur Muhammad Nur/Tinur, hingga meninggal dunia bahkan tidak memiliki sebuah rumah. "Saya bersyukur karena sewaktu meninggal Pak Gaffar dan Bu Gaffar tidak mempunyai rumah. Rumah yang sekarang kita tempati ini adalah milik yayasan," ujarnya sambil terbata.

Gaffar adalah salah seorang tokoh politik yang telah berjuang sejak muda sebelum masa kemerdekaan. Ia tidak pernah berhenti dari tugasnya memimpin umat. Tokoh yang lahir di Nagari Jambu Air, Banuhampu, Bukittinggi, 11 Agustus 1911 ini dengan kecerdasan dan keberaniannya selalu berusaha memimpin dan membimbing umat Islam.

Pembentukan sikap
Karakter yang ada pada diri Gaffar yang cerdas dan pemberani tidak lepas dari pengaruh lembaga pendidikan tempat dirinya menimba ilmu, Perguruan Thawalib, Parabek, Bukittinggi, sebuah pesantren terkemuka di Sumatra Barat yang didirikan dan diasuh oleh Syekh Ibrahim Musa. Pada 1930, Gaffar Ismail tamat dari Perguruan Thawalib. Dari pesantren inilah, karakter Gaffar benar-benar dibentuk dengan matang.

Sumatra Thawalib menanamkan dasar-dasar bermazhab kepada para pelajarnya. Dalam mengajarkan fikih, ia bersemboyan, "Matangkanlah satu-satu, lalu ambillah yang lain untuk jadi perbandingan, dan jangan menutup diri pada satu mazhab saja". Maksud dari semboyan ini adalah dalam mempelajari ilmu fikih, para pelajar di tingkat awal diajarkan kitab fikih bermazhab Syafi'i.

Kegiatan ekstrakurikuler yang dicanangkan oleh Pesantren Thawalib, antara lain, debating club (muzakarah/diskusi) dan muhadharah (latihan pidato), yang telah banyak memengaruhi alumninya. Diskusi ini dilaksanakan secara komprehensif, suatu permasalahan dibahas dalam beberapa kali pertemuan, sehingga memungkinkan para pelajar untuk membahas dan menelaahnya secara mendalam.

Kebiasaan melakukan debat terhadap masalah-masalah keagamaan yang aktual tersebut telah memengaruhi pikiran Gaffar untuk selalu mengkritisi segala persoalan dengan tidak asal terima, tetapi ditelaah secara kritis dan mendalam.

Kegiatan latihan pidato menjadikan Gaffar mahir dan fasih dalam mengartikulasikan segala pikirannya. Sebab dengan latihan berpidato sejak awal, sebagai juru dakwah ia telah dibekali materi yang penting. Karena itu, tidak berlebihan bila Gaffar Ismail muncul sebagai 'Singa Podium' yang mampu menyuarakan kegalauan umat.

Pada 1930-32, Gaffar menjadi anggota Pengurus Besar merangkap ketua bagian pemuda Partai PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia). Karena kegigihan aktivitas PERMI menuntut kemerdekaan, pemerintah kolonial Belanda membuang empat pimpinan PERMI, yaitu Mochtar Lutfi (alumnus Universitas Al-Azhar), Djalaludin Thaib, Iljas Ja'cub ke Digul, dan Gaffar Ismail, (yang paling muda) diusir meninggalkan Sumatra Barat. Gaffar Ismail boleh memilih tempat pembuangan, dan beliau memilih Pekalongan karena di sana daerah santri dan pengusaha mandiri yang kuat dan dikenal dermawan kepada perjuangan kemerdekaan.

PERMI yang begitu besar pengaruhnya terutama di Sumatra, didirikan oleh Gaffar Ismail bersama Ali Imran Djamil, merupakan hasil Muktamar Sumatera Thawalib pada 1930, yang berubah menjadi Partai PERMI.

Di samping tokoh-tokoh PERMI yang lain, Gaffar termasuk tokoh utama yang menonjol dalam PERMI. Kecakapannya terutama sebagai propagandis partai. Kelincahan dan kecakapan berpidato menjadi keunggulannya dibandingkan yang lainnya. Waktu itu dalam berpidato, ia sejajar dengan Muchtar Luthfi. Berapi-api dan menyala-nyala, tetapi mengalir dengan logika yang kuat dan runtut.

Ketika partai-partai politik mengalami hambatan dengan adanya Vergader verbod dari Pemerintah Kolonial, Gaffar tetap tidak menyerah dengan tampil dalam partai baru yang didirikan oleh Dr Sukiman, yaitu Partai Islam Indonesia (PII). Ia ikut menjadi salah seorang tokoh penting dalam partai ini.

Kemudian setelah proklamasi, Gaffar ikut dalam Partai Masyumi di Yogyakarta. Dalam periode awal, nama Gaffar tetap menduduki tempat penting dalam partai ini. Memang, bagi Gaffar sendiri tidaklah begitu dipentingkannya. Gaffar hidup dalam kesederhanaan dan bersikap apa adanya, bahkan bisa dianggap lebih suka hidup menderita, seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dalam perjuangannya

Meskipun demikian, Gaffar dapat dinilai bukanlah seorang organisator. Memimpin partai secara administratif tidak diminatinya dan bukanlah tempatnya jika pekerjaan itu diberikan kepadanya. Gaffar dapat disebut sebagai propagandis dan penggugah semangat rakyat atau pembentuk kader.

Pada 1954, Gaffar Ismail memutuskan untuk berhenti aktif dari politik dan kembali ke dunia pendidikan. Keputusan Gaffar untuk mundur dari dunia politik karena rasa patah hatinya dengan partai politik. Gaffar menginginkan Masyumi betul-betul menjadi partai Islam yang kuat dan tegas menentang ideologi yang hendak menghancurkan Islam. Ia ingin Masyumi menjadi pelopor negara Islam di Indonesia. Ia mengemukakan konsepsinya dalam rangka memperkuat tekad perjuangan. Apabila Masyumi diteruskan dalam tradisinya yang sudah-sudah, Gaffar percaya Masyumi akan mengalami kekalahan dan cita-cita yang dikandung tidak akan tercapai.

Ketika sebuah delegasi dari Pekalongan-dipimpin oleh Ahmad Djunaid-meminta beliau kembali ke Pekalongan untuk membina umat, beliau setuju. Keputusan itu dijalaninya dengan istikamah selama 1954-1998, sepanjang 44 tahun sampai wafat. Gaffar aktif mengadakan pengajian rutin di rumah yang ditinggalinya. Fokus pengajian adalah tafsir Alquran, diberikan secara populer dan sistematis, dengan bahasa yang indah dan retorika menarik.

Pengajian berlangsung di rumah Jalan Kejaksan 52 (kemudian bernama Jalan Bandung 60), Pekalongan, setiap malam Selasa, sehingga bernama Pengajian Malam Selasa (Pemasa). Pengunjung berlimpah ke luar rumah sampai ke simpang empat Jalan Bandung-Jalan Haji Agus Salim dan ke tanah lapangan bong Sorogenen di selatan. Pengunjung pengajian yang datang terjauh dari barat: Cirebon, dan terjauh dari timur: Semarang.

Keaktifan membina umat tidak hanya terbatas di Pekalongan, tetapi secara periodik dia juga aktif memberikan pengajian di Surabaya (Masjid Mujahidin), Makassar (Masjid Raya Makassar), dan Jakarta (Masjid Sunda Kelapa). Ia seolah tak kenal lelah.

Mendampingi beliau, Bu Tinur juga memberikan pelajaran tafsir Alquran untuk ibu-ibu pada pagi hingga siang hari di Jalan Bandung 60, dengan murid 20-30 orang pada 1954-1982, sepanjang 28 tahun lamanya. Bu Tinur wafat dalam usia 69 tahun (1982). Pada 1986, Pak Gaffar menikah dengan murid beliau, Istis'adah, yang dengan setia merawat beliau selama 12 tahun sampai beliau wafat.

Ada pengalaman menarik, ketika tahun 1980-an, saya sebagai ketua PII (Pelajar Islam Indonesia) Kota Pekalongan bertemu beliau di rumah Jl Bandung. Waktu itu akhir bulan Ramadhan, Pemerintah Arab Saudi telah memutuskan Idul Fitri satu hari lebih awal dari Indonesia. Sambil menyiram tanaman di halaman rumahnya, ia berdiskusi. Dengan nada tegas dia menyatakan, "Matahari dan bulan di Arab beda dengan kita. Masing-masing juga punya pemerintahan yang bertanggung jawab dunia akhirat. Ikuti keputusan yang akan membawa kemaslahatan."

*Artikel ini dimuat Republika, Kamis 11/08/2011.

2 Responses so far.

  1. Assalaamu'alaikum wrwb.. Mohon info. Dimana saya bisa mendapatkan rekaman ceramah2 guru Abdul Gaffar Ismail? Baik berupa kaset, VCD atau mp3?Terimakasih sebelumnya.-Dwi-

  2. Unknown says:

    Sungguh seorang ulama yag. Patutdi teladani, namun sayang ceramahnya sampai sekarang belum di temukan.

Leave a Reply