Opini

Jumat, 12 Agustus 2011

Mereposisi Makna Ramadhan

0 komentar
 
Oleh: Nazar Nurdin, 
peneliti muda di Lembaga Studi Sosial 
dan Agama (eLSA), Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang*




Hingga kini, mata hati kita masih meyakini Ramadhan sebagai bulan yang suci. Sebagai bulan pembawa berkah, Ramadhan tetap dipercaya sebagai terminal pahala sekaligus momen untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.

Bagi segenap umat Islam, kesucian Ramadhan terpatri dalam lubuk hati terdalam. Doktrin agama meresap jauh sampai ke relung hati. Konon, masyarakat percaya segala puncak ritual suci keagamaan ditumpahkan pada bulan Ramadhan. Maka, untuk menjaga kesucian, segala cara dilakukan guna meruwat tradisi yang dianggap positif. Meski demikian, sangat disesalkan bila praktik anarkis masih meruyak hingga menodai kesucian Ramadhan itu sendiri.

Dalam patologi demikian, setidaknya ada dua kata kunci atau mata sisi perspektif yang saling ambivalensi. Satu sisi, seringkali Ramadhan ditafsirkan sebagai bulan pendekatan diri kepada Tuhan secara utuh. Pemahaman terkait puasa pun jamak diisi dengan ritus-ritus keberagamaan yang bersifat positif, menjauhkan diri dari perilaku maksiat. Model ini diekspresikan oleh hampir seluruh umat Islam.

Di sisi lain, ada kasus praktik 'perpeloncoan' yang dipelopori organisasi massa (ormas) Islam tertentu, yang bermuara dari sikap prihatin atas makin menjamurnya praktik-praktik maksiat di tengah menjalankan ibadah puasa. Dengan dalih ketertiban umum, mereka biasa mengklaim tindakan kekerasan sebagai pembersihan dosa, penyucian diri, atau penghalalan atas segala macam bentuk maksiat.

Atas nama Ramadhan, tindakan 'perpeloncoan' seakan dibenarkan oleh agama. Mereka pun tak enggan berbicara atas dasar panggilan 'suci' agama. Akibatnya, tanpa saling menghormati sebagai warga penganut negara hukum, tindakan anarkis bertebaran. Padahal, kalau ditelaah bersama bahwa teks suci bersifat tertutup (corpus closed). Hanya manusia dengan akal pikirnya yang mampu menelaah dan mengartikulasikan teks yang mati (text of die) itu menjadi bermakna. Teks yang tentunya hendak membawa misi kebahagiaan bagi semua umat manusia dengan jalan damai dan akomodatif.

Dalam kamus besar agama, segala hal yang termasuk tindak aniaya, laiknya kekerasan ataupun bentuk penindasan kepada kelompok tertentu tidak selalu dibenarkan, meski atas dasar mencegah kebatilan. Sejatinya, Ramadhan merupakan waktu untuk memopulerkan diri bagi seseorang yang benar-benar ingin mencari jalan pencerahan.

Ramadhan mengajarkan prinsip welas asih, rahmat bagi segala umat manusia di alam nyata, rahmatal lil alamin. Ramadhan disediakan Tuhan sebagai ruang suci, ruang pertapaan bagi manusia. Ruang suci dengan harapan dapat menekan keburukan dari dalam diri, dan melatih sifat buruk dalam hati agar tidak semakin bertindak liar.

Dengan demikian, puasa sejatinya memberi "petuah suci" dengan cara menahan diri dari hal yang bersifat duniawi. Doktrin agama mensinyalir adanya kebobrokan moral jika manusia hanya menuruti kehendak duniawi. Firasat agama pun benar, dan doktrin agama kian menjadi populer. Dan, selagi manusia masih berada di atas bumi, kebobrokan moral pun tak bisa terelakkan. Cara ampuh adalah menaati perintah dari agama sebagai jalan penuntun hidup di dunia.

Namun, bagi kelompok tertentu, Ramadhan cenderung dilakukan dengan kebiasaan berbeda, bias dengan kultur agamis itu sendiri. Ini terjadi manakala kekerasan fisik atas nama Ramadhan terjadi. Gema takbir pun tak jarang menjadi awal momentum dalam setiap aksi hingga tak sedikit yang bertuah menjadi bencana kemanusiaan. Ruang yang disediakan Tuhan berganti dengan simbol-simbol agamis. Kesucian doktrin agama pun dipertanyakan.

Kondisi demikian tentunya kian memicu masyarakat untuk menghayati kembali doktrin-doktrin agama. Bagi orang yang tetap percaya, dengan sendirinya mereka akan mempraktikkan hal yang dianggap baik. Sebaliknya, mereka akan turut andil bertindak keras terhadap perilaku maksiat sebagai suatu panggilan agama, meski dilakukan lewat jalur kekerasan, dengan menyerang tempat hiburan malam, karaoke, perjudian yang sarat perbuatan tercela, misalnya.

Mereka - kelompok Islam tertentu - berdalih bahwa Ramadhan sebagai bulan suci haruslah bersih dari sarang maksiat. Mereka biasa menggunakan "akal sempitnya" untuk kemudian merusak pranata sosial yang ada, fasilitas milik seseorang yang sah namun tetap dianggap menyalahi ketentuan agama. Tampilan agamis tidak selalu merepresentasi sikap yang agamis pula. Bukan tidak mungkin, ritual suci yang mereka suguhkan jauh dari realitas agama yang menyuruh manusia untuk memanusiakan manusia.

Sebagai negara hukum, tidak ada pihak yang dibenarkan melakukan tindakan 'perpeloncoan' terhadap ritus-ritus yang berbau maksiat. Negara Indonesia mempunyai aturan hukum yang dapat memaksa siapa pun yang melanggar aturan. Dengan alasan apa pun, tindakan mereka tidak bisa diterima secara akal sehat, apalagi bertindak sesuai komando seseorang yang membuat tafsiran sempit, dan tidak kontekstual. Pemahaman ini bersifat simpel, ekslusif, sesaat, dan tentunya tidak sesuai dengan kenyataan jika diartikulasikan dalam kehidupan.

Mestinya melalui Ramadhan ini, ajaran mengenai prinsip hidup secara in absentia telah dipersembahkan agama. Mereka yang mencari rizki di jalan Ramadhan tidak selalu menampilkan erotisme, seksualitas dan tindakan makar pada agama. Sudah saatnya perilaku kekerasan dijauhkan dari kehidupan ini. Lewat event Ramadhan, kita mestinya bisa mengaca diri, apakah perilaku kita sejalan dengan doktrin agama dan sesuai kehendak nurani terdalam kita.

Tugas awal yang harus diemban, yakni mengembalikan kesucian Ramadhan dengan sikap toleran kepada sesama, damai, aman dan jauh dari rasa teror dan bentuk-bentuk anarkis.



*Artikel dimuat Suara Karya, Jumat 12/08/2011



Leave a Reply