Opini

Jumat, 12 Agustus 2011

PRT dan Kepentingan Bersama

0 komentar
 
Oleh: Ahmad Sahidah PhD, Penulis adalah Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia*

Pemerintah Malaysia akan melakukan pemutihan terhadap pekerja ilegal. Tidak hanya Indonesia, negara tetangga lain yang juga banyak memasok pekerja kasar ke negeri ini akan juga mendapatkan kesempatan untuk mendaftar warganya secara resmi sebagai pekerja legal. Tentu, kebijakan ini menantang perwakilan pemerintahan Indonesia, seperti kedutaan besar dan konsulat, untuk memastikan warganya yang bekerja tanpa dokumen untuk mendapatkan pengesahan. Sekaligus, ini adalah peluangan bagi pekerja rumah tangga untuk mendapatkan pelayanan pengampunan. Bagaimanapun, mereka adalah perempuan migran yang rentan menghadapi perlakukan tak manusiawi. 
Setelah lama mangkrak, moratorium pengiriman pekerja tatalaksana rumah tangga ke Malaysia akhirnya dicabut. Selain itu, kedua menteri terkait, A Muhaimin Iskandar dan S Subramaniam, menandatangani MoU (Memorandum of Understanding) terkait hak-hak buruh migran, seperti cuti sehari dalam seminggu, tansfer gaji ke rekening, paspor disimpan pekerja dan gaji RM 600. Tentu kesediaan Menteri Sumber Daya Manusia negeri jiran melakukannya di Bandung merupakan isyarat baik bahwa pihak Malaysia bersedia untuk duduk semeja membahas hal ihwal hubungan kedua negara serumpun ini berhubungan dengan konflik kepentingan.

Sejatinya, masalah buruh migran tidak hanya menimpa pekerja Indonesia. Dr Irene Fernandes, tokoh pembela buruh dari Tenagakita, Malaysia, bersuara lain tentang pembelaan terhadap pekerja yang lemah itu secara keseluruhan, yang tidak hanya menimpa buruh migran Indonesia, tetapi negara tetangga lain (The Sun, 4/1/11). Ia tak hanya terkait dengan pemerintah, agensi pembantu, tetapi juga watak majikan. Banyak majikan yang menganggap pembantu mereka sebagai pelayan (servant) bukan pekerja (employee). Tentu, pembelaan terhadap buruh migran tidak hanya terhenti pada pengungkapan kasus mereka, namun pada waktu yang sama ia dengan sendirinya mengharuskan kerjasama dengan pihak terkait, pemerintah, yang mempunyai kuasa untuk memberikan bantuan pembelaan secara finansial dan hukum. Lagi-lagi, kedua negara harus bahu-membahu, tak bisa berjalan timpang.

Antisipasi 
Pemberian cuti pada Pembantu Rumah Tangga (PRT) merupakan keharusan, karena mereka memerlukan istirahat dan hiburan setelah bekerja selama enam hari. Kalau pun hak ini tidak diambil, majikan harus memberikan uang lembur. Tentu, semua ini berpulang pada kesepakatan kedua belah pihak. Bagaimanapun, aturan pengambilan pembantu di Malaysia tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pengalama teman Melayu saya, Zailani bin Mohd Yusoff, mengambil seorang pembantu di agensi mensyaratkan banyak hal, seperti standar gaji minimal bersangkutan. Dengan demikian, hak pekerja bisa dipenuhi secara aman.

Nah, bagaimana jika cuti sehari itu diambil oleh pembantu? Di sini, pemangku kepentingan, seperti perwakilan Indonesia, Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), dan masyarakat kita di sana harus memastikan agar mereka mendapatkan perhatian. Bagaimanapun, semakin terpaparnya PRT dengan dunia luar memungkinkan sindikat untuk memanfaatkan keluguan pekerja tersebut dan memujuknya keluar dari majikan seraya menjanjikan pekerjaan lain yang bergaji lebih besar. Padahal, yang bersangkutan terperangkap dalam jaringan perdagangan manusia. Jika pekerja tersebut terjerat, ia akan sulit keluar dari penipuan ini. Pengalaman penulis menerima keluhan dari seorang pekerja perempuan yang merasa ditipu karena gaji sebagai pembantu sangat kecil karena perempuan setengah baya itu dijebak sindikat. Untuk itu, PJTKI harus diminta laporan terkait dengan keselamatan pekerjanya.

Hal lain, kesadaran PRT untuk tak termakan bujuk rayu pekerja asing lain, seperti Bangladesh dan Pakistan. Dalam sebuah kesempatan, kami, mahasiswa Indonesia di Malaysia, pernah berbincang dengan Chilman Arisman, Konsul Jenderal RI Pulau Pinang tentang nasib pekerja yang harus terdampar di rumah perlindungan Konsulat. Misalnya, akibat hubungan dengan seorang pekerja Bangladesh, ia mengandung dan harus menanggungnya sendirian karena 'sang suami' meninggalkan Malaysia setelah kontraknya habis. Sementara, masa tinggal yang bersangkutan telah habis. Di sana, ratusan PRT asal Indonesia menunggu pemulangan dengan berbagai masalah, seperti penyiksaan, izin tinggal habis, gaji tak dibayar.

Simbiosis Mutualisme 
Sebelum penandatanganan MoU, pemerintah Malaysia mengisyaratkan untuk mendatangkan PRT dari Timor Leste, karena dengan andaian mereka juga bisa berbahasa 'Indonesia'. Namun, sebelum ini terlaksana, kedua pemerintah akhirnya mengakhiri kebuntuan terkait penghentian pengiriman tenaga kerja. Seperti diungkapkan oleh Subramanian bahwa PRT asal Indonesia berjumlah 300 ribuan dan hanya segelintir dari angka itu yang mengalami pelbagai masalah. Tentu, menteri yang berasal partai Malaysia Indian Congress (MIC) itu tidak sedang membenarkan perlakukan tidak patut pada buruh migran, namun memaparkan bahwa secara umum, para pekerja menerima haknya dan pada waktu yang sama kedua negara harus mencegah TKI bermasalah dan melindungi korban apabila mereka tersandung musibah.

Bagaimanapun, kehendak untuk mengatasi masalah sepatutnya dikedepankan dalam menyelesaikan isu TKI, khususnya PRT. Harus diakui, sebagian besar pekerja dalam sektor ini diisi oleh perempuan yang berpendidikan rendah, bahkan sebagian buta huruf. Tidak jarang, sebagian mereka adalah perempuan yang memasuki masa uzur. Teman karib saya, Fauzi Hussien, pernah memiliki seorang pembantu asal Jawa Tengah yang tidak bisa baca tulis, sehingga dosen Universitas Utara Malaysia itu membantunya untuk menuliskan sebuah surat untuk keluarganya di kampung. Kenyataan ini tentu harus memaksa PJTKI untuk betul-betul memastikan kemelekhurufan dan membekalkan keterampilan terkait tata laksana rumah tangga, karena tak dielakkan mereka harus mengerjakan pekerjaan rumah yang serba listrik. Kebanyakan masalah pembantu-majikan juga dipicu dari keteledoran pembantu dalam bekerja.

Sejatinya, hal ihwal dunia buruh migran telah banyak dibahas dan diseminarkan, yang
melibatkan penggiat lembaga swadaya masyarakat, akademisi dan politikus. Malah, Fani Habibie pernah berujar bahwa di kantornya ia memiliki segunung rekomendasi dari pelagai pihak terkait perbaikan nasib buruh migran. Sebagai ketua pokja ketenagakerjaan pada masanya, adik bekas Presiden RI ke-4 ini, menegaskan bahwa 80 persen masalah TKI bersumber pada kesalahan pengurusan dalam pengambilan dan pelatihan di dalam negeri. Nah, mengingat pernyataan tersebut disampaikan pada 2007, tentu dengan penandatanganan MoU tahun ini akan makin mengecilkan angka korban, bahkan diharapkan akan meniadakan sama sekali. Semoga! 



*Artikel ini dimuat Koran Jakarta, Jum'at 12/08/2011.

Leave a Reply