Opini

Jumat, 12 Agustus 2011

RESONANSI Republika: 'Durian Nazaruddin' dan Polisi

0 komentar
 
Oleh: Zaim Uchrowi*


Dua asrama itu bersandingan. Para mahasiswa di Bogor tahun 1970 hingga 1980-an mengenalnya dengan baik:  Felicia dan Ekasari.  Bukan semata karena para aktivis mahasiswa tinggal di sana. Asrama itu dikenal karena pohon durian yang tumbuh di sampingnya.

Bila musim durian tiba, riuhlah kedua asrama itu. Semua bersiaga menjadi yang pertama mengambil durian jatuh. Bagi yang belum tahu, durian tak dapat dipetik di pohon. Durian matang akan jatuh sendiri. Saat itulah semua berebut. Tak peduli apa agama, suku, angkatan, juga latar organisasinya. "Berebut durian tak mengenal ideologi," kata Chairil Anwar, mantan penghuni Ekasari yang kini menjadi pejabat di Kementerian Pendidikan Nasional.

Durian memang membikin tergila-gila. Segala hal dapat dikorbankan untuk makan durian. Walaupun, jika kebanyakan, dapat pula membuat mabuk. Gila dan mabuk durian itu ternyata bukan cuma secara harfiah. Gila dan mabuk durian juga dalam pengertian kiasan. Seperti yang terlihat dalam drama Nazaruddin. Mantan bendahara umum Partai Demokrat itu.

Dalam drama Nazar, 'durian' memang membuat gila. Hampir semua orang siap berebut durian. Ada yang malu-malu, tapi ada pula yang 'kemaruk' seperti Nazar sendiri. 'Durian' itu berupa triliunan uang negara yang dapat dibuat matang dan jatuh sendiri setelah dikemas dalam bentuk proyek-proyek. Kalau seperti itu kebanyakan orang, apa pun ideologinya, akan tergoda makan sebanyak-banyaknya.

Nazar makan 'durian' itu terlalu banyak hingga 'mabuk'. Dibangunnya rumah norak yang dapat menunjukkan dia kaya-raya. Ceceran durian yang dimakannya ada di mana-mana yang membuat dia cepat atau lambat tercium gelagatnya. Seperti pada kasus pembangunan wisma atlet SEA Games. Nazar pun terpeleset. Tak ingin sendirian, ia menyeret banyak nama lain yang telah mencicipi dan menikmati duriannya.

Belakangan ia berubah untuk lebih banyak menyebut nama tertentu. Beberapa nama penting yang sempat disebutnya kini seperti ia tutupi. Entah untuk apa. Sedemikian mabuk Nazar, sampai ia kabur. Menipu Tuhan dengan kelakuannya pun ia berani, apalagi kalau cuma mengelabui saudara sebangsanya sendiri. Ia kabur hingga Kolumbia, sebelum kini harus diborgol dibawa pulang.

Pesta durian runtuhnya Nazaruddin sudah berakhir. Yang ikut menikmatinya kini sibuk mencuci tangan agar sisa pesta itu tak berbekas lagi. Tak mudah memang sebab bau durian tak dapat begitu saja hilang. Sekarang, setelah pesta itu berakhir, kini Nazarlah yang bagai durian. Nazar seperti durian matang dan jatuh bagi Kepolisian RI (Polri) yang tengah meneguhkan profesionalitasnya.

Akar profesionalitas sudah tertanam mendalam. Polri sering mencengangkan publik dengan profesionalitasnya mengungkap hal yang tak serba tak terduga. Dalam menangani masalah terorisme, misalnya. Banyak orang berdecak. "Kalau memang mau, polisi sebenarnya dapat membongkar kasus apa pun," kata seorang kawan. Hal yang juga tak mudah karena 'mau' polisi, di negeri yang sangat politis ini, sangat dipengaruhi oleh mau banyak pihak lain.

Pelarian Nazar menjadi durian runtuh bagi polisi untuk menunjukkan lagi profesionalitasnya. Tanpa banyak gembor-gembor, tanpa banyak hu-ha, polisi lewat jaringan Interpol mampu membekuk Nazar. Keprofesionalitasan polisi itu akan makin terlihat dalam melindungi Nazar sesampai di Tanah Air. Beberapa pengamat khawatir Nazar akan di-'Munir'-kan. Saya percaya, polisi akan mampu melindungi dari kemungkinan itu.

Bukan berarti posisi polisi tidak rawan. Nazar bukan saja durian bagi kerja profesional polisi. Nazar juga masih menyimpan banyak 'durian' yang dapat membuat 'kemaruk' siapa pun. Tanpa kecuali polisi. Polisi perlu mengimunisasi diri agar tidak 'kemaruk durian' Nazar yang memang menggiurkan. Umumnya, justru orang-orang yang tak terbiasa yang dapat menjadi sedemikian tergiur. Petani durian tak akan tergila-gila atau mabuk durian.

Semestinya di asrama mahasiswa itu dulu ditanam banyak pohon durian. Itu akan membuat semua menjadi terbiasa dan tak akan 'kemaruk durian' lagi. Prinsip itu perlu lebih disemaikan di bumi pertiwi, agar sedikit kemungkinan terlahir lagi orang seperti Nazaruddin di masa depan. Dengan begitu, polisi dapat membangun profesionalitasnya dengan tenang, tanpa harus menunggu durian jatuh yang ternyata busuk seperti Nazaruddin.

*Artikel dimuat Republika, Jumat 12/08/2011.

Leave a Reply