Oleh: Ecep Heryadi, Analis Sosial Politik UIN Jakarta, Fellow Jejaring Intelektual Publik Indonesia (JIPI)*
Wajah perpolitikan Indonesia kembali gaduh. Sejatinya riuh rendah oleh berbagai manuver dan aktifisme para elite politik yang jauh panggang dari api antara kata dan aplikasi, dianggap sudah wajar. Namun, ketidakwajaran menyoal manuver/ wacana Ketua DPR Marzuki Alie yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat masif menyeruak ke muka publik akhir-akhir ini: dengan mengelindingkan isu bubarkan KPK.
Sontak publik tercengang. Nalar Ma(s)rzuki kontraproduktif dengan nalar publik. Tak heran jika tokoh bangsa sekelas Buya Syafii Ma’arif menyebut Mas Zuki sedang tak sadar (ketika mengusulkan pembubaran KPK). Ada apa dengan Mas Zuki? Bukankah Ketua Dewan Pembina PD, SBY, dalam Rakornas di Bogor mengatakan, “jangan hanya karena nilai setitik, rusak susu sebelanga dalam konteks buron KPK, M. Nazaruddin yang berhasil mengobrak-abrik PD sampai ke titik nadir”. Mengapa itu pula tak diberlakukan untuk KPK?
Jangan karena satu-dua nama pimpinan KPK—M.Jasin, Chandra M. Hamzah, Johan Budi, Ade Rahardja—lantas berasumsi bahwa lembaga yang masih dipercaya publik ini mesti dibubarkan. Benar kata Advokat Senior Adnan Buyung Nasution bahwa yang mesti dibuarkan itu PD dan DPR, bukan KPK, karena di dua lembaga tersebutlah yang paling banyak “orang tak beres”-nya. Merujuk pada hasil penelitian beberapa LSM, partai politik dan institusi dewan adalah lembaga yang paling tak dipercaya publik karena korup, kurang aspiratif, dan seringnya melakukan blunder.
Pernyataan Mas Zuki tentu berefek besar dalam upaya pemberantasan korupsi di tanah air. Posisinya sebagai ketua lembaga tinggi negara bisa difahami publik sebagai refresentasi DPR secara keseluruhan yang ingin membubarkan KPK. Apa dampaknya? Apatisme publik dan makin terdegradasinya trust masyarakat terhadap DPR khususnya, akan semakin terjadi. Lebih dari itu, sinyalemen pelemahan sistematis KPK oleh lembaga yang secara hakikat melahirkan KPK lewat aspek yuridis-formal (keluarnya UU KPK) benar-benar tengah dan akan dijalankan DPR.
Karena sesungguhnya, hampir tak ada hal positif yang bisa diambil dari pernyataan Mas Zuki itu selain deligitimasi KPK secara terang. Alibi-alibi yang dikeluarkan untuk mendukung pernyataan tersebut bisa dengan mudah dibantah publik.
Republik Korup
Menjadi tak aneh usulan Mas Zuki—yang disebutnya melawan logika umum—ketika kondisi ekonomi negara campleng, korupsi minim seperti di Singapura atau China, dan atau pejabatnya bersikap benar-benar anti terhadap korupsi. Apa realitasnya? Usulan Marzuki yang “visioner” itu tak didukung oleh realitas dan empirisme praktik koruptif di negeri ini. Korupsi kita masih “diatas nalar”.
Korupsi kita masih liar dan sukar dikendalikan. Hampir keseluruhan lembaga negara terkena sindroma koruptif akut. Lembaga peradilan dan lembaga dewan pada 2003, menurut Data Transparancy International masih yang terkorup. Sedangkan parpol menurut survey Barometer Korupsi Global Transparansi Indonesia memperlihatkan intimitasnya dengan uang yang begitu lekat sehingga berimplikasi pada suap, korupsi, dan lainnya, di empat tahun berdekatan 2003, 2004, 2007, dan 2008.
Fenomena suap di kalangan politisi pragmatis tak kalah dibandingkan dengan korupsinya itu sendiri. Data ICW menandakan ada peningkatan kasus pada 2010 dibandingkan 2009 yang “hanya” 42 tersangka, dengan menjadi 69 tersangka. Hal tersebut tentu saja berimplikasi pada kerugian negara yang pula meningkat dari Rp 470,6 miliar menjadi Rp 619,13 miliar pada 2010.
Realitas diatas semakin ditunjang oleh hasil penelitian Transparansi Indonesia (TI) yang menyatakan masih menggebyah-uyahnya berbagai praktik koruptif pada bidang bisnis, yang meliputi berbagai ijin usaha: hak guna usaha (HGU), izin mendirikan bangunan (IMB), ijin domisili, ijin ekspor, ijin bongkar muat barang, dsb, pajak: restitusi pajak, penghitungan pajak, pungutan liar oleh berbagai instansi terutama kepolisian dan imigrasi serta pengadaan barang dan jasa baik melalui proses tender atau penunjukkan langsung.
Dari kesemua prosesi bisnis itu, semua tahapannya mesti melalui “zona korupsi” sampai beberapa layer. Hasil cermatan TI demikian sejalan dengan Studi Integritas yang digelar Direktorat Litbang KPK tahun 2007. Dalam Studi Integritas tersebut diketahui bahwa unit-unit layanan semisal Bea Cukai, Pajak, layanan ketenagakerjaan dan imigrasi menduduki peringkat terendah dalam urusan integritas. Layanan pajak misalnya, mempunyai skor “merah” yakni 5,96. Terlebih skor untuk pelayanan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang hanya 3,45.
Berbahaya lagi ketika mayoritas publik menganggap bahwa rendahnya kualitas integritas sektor pelayanan publik adalah hal yang wajar sehingga mendorongnya dengan memberikan imbalan (seperti pada kasus pembuatan KTP, pencairan dana BLT di desa, misalnya) dianggap sah-sah saja. Masyarakat banyak yang tak sadar bahwa jika hal demikian terus menerus dilakukan progresifitas dan impelementasi good governance yang selama ini didengung-dengungkan pemerintah semakin sulit ditataran aplikatif.
Hal tersebut, tergambar bahwa begitu ruwet dan kompleksnya persoalan korupsi ini karena menjalar ke semu lini kehidupan. Fakta dan realitas itu, barangkali, yang tak difahami oleh Mas Zuki sehingga dengan entengnya berbicara menyoal pembubaran KPK.
Katakan Tidak untuk Maafkan Koruptor!
Jujur saja, sedikitpun, usulan pembubaran KPK dan pemaafan koruptor tak masuk di akal sehat saya. Pertama, terkait pembubaran KPK yang didasarkan pada ketiadaan tokoh bangsa ini untuk berdiri memimpin lembaga sekredibel KPK. Masih banyak saya kira tokoh yang idealis, kredibel, akseptabel, bermoral, berintegritas, faham akan persoalan carut-marutnya korupsi di Indonesia. Refresentasinya terlihat pada ke-17 nama yang baru saja lolos tes pembuatan makalah oleh panitia seleksi (pansel KPK) yang diketuai Menkumham Patrialis Akbar.
Kinerja pansel yang reaktif dan terbuka tentu menumbuhkan optimisme publik terkait akan lahirnya pimpinan KPK yang diharapkan. Lihat saja ketika nama Chandra Hamzah, Ade Rahardja dan Johan Budi disebut-sebut Nazaruddin, ketiganya langsung gagal tak masuk seleksi lanjutan. Meski tak ada kepastian menyoal alasan gugurnya 3 orang di intrenal KPK itu, selain normatif karena dianggap tak layak dari sisi aspek teknis (pembuatan makalah), namun banyak orang berfikir hal itu disebabkan semata-mata reaktifnya pansel KPK terhadap opini yang berkembang di ruang publik. Dalam konteks ini, pansel KPK terlihat sangat hati-hati dan sangat sensitif dalam penetuan siapa-siapa yang bakal diloloskan dan yang digugurkan.
Kedua, terkait memulangkan dan memaafkan para koruptor di luar negeri secara nasional. Dikembalikan lagi dari nol sambil menerapkan undang-undang (UU) Pembuktian Terbalik. Pertanyaanya, apakah mereka (koruptor) mau untuk pulang ke Indonesia? Kalaupun mau pulang, apakah ada jaminan uang negara yang mereka gondol masih tersisa? Bagaimana jika yang menyisa tinggal orangnya saja, uangnya sudah ludes, apakah tetap dimaafkan? Pertanyaan lanjutannya, apakah Mas Zuki punya data lengkap dan valid ihwal para koruptor Indonesia di luar negeri dari lintas rezim?
Sebab itu, musykil dan terlalu berisiko implementasi usulan Mas Zuki tersebut. Jadi, mengutip jargon politik PD pada saat kampanye pemilu 2009, katakan tidak untuk maafkan koruptor!
*Artikel dimuat Radar Banten, Jumat 05/08/2011.
Wajah perpolitikan Indonesia kembali gaduh. Sejatinya riuh rendah oleh berbagai manuver dan aktifisme para elite politik yang jauh panggang dari api antara kata dan aplikasi, dianggap sudah wajar. Namun, ketidakwajaran menyoal manuver/ wacana Ketua DPR Marzuki Alie yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat masif menyeruak ke muka publik akhir-akhir ini: dengan mengelindingkan isu bubarkan KPK.
Sontak publik tercengang. Nalar Ma(s)rzuki kontraproduktif dengan nalar publik. Tak heran jika tokoh bangsa sekelas Buya Syafii Ma’arif menyebut Mas Zuki sedang tak sadar (ketika mengusulkan pembubaran KPK). Ada apa dengan Mas Zuki? Bukankah Ketua Dewan Pembina PD, SBY, dalam Rakornas di Bogor mengatakan, “jangan hanya karena nilai setitik, rusak susu sebelanga dalam konteks buron KPK, M. Nazaruddin yang berhasil mengobrak-abrik PD sampai ke titik nadir”. Mengapa itu pula tak diberlakukan untuk KPK?
Jangan karena satu-dua nama pimpinan KPK—M.Jasin, Chandra M. Hamzah, Johan Budi, Ade Rahardja—lantas berasumsi bahwa lembaga yang masih dipercaya publik ini mesti dibubarkan. Benar kata Advokat Senior Adnan Buyung Nasution bahwa yang mesti dibuarkan itu PD dan DPR, bukan KPK, karena di dua lembaga tersebutlah yang paling banyak “orang tak beres”-nya. Merujuk pada hasil penelitian beberapa LSM, partai politik dan institusi dewan adalah lembaga yang paling tak dipercaya publik karena korup, kurang aspiratif, dan seringnya melakukan blunder.
Pernyataan Mas Zuki tentu berefek besar dalam upaya pemberantasan korupsi di tanah air. Posisinya sebagai ketua lembaga tinggi negara bisa difahami publik sebagai refresentasi DPR secara keseluruhan yang ingin membubarkan KPK. Apa dampaknya? Apatisme publik dan makin terdegradasinya trust masyarakat terhadap DPR khususnya, akan semakin terjadi. Lebih dari itu, sinyalemen pelemahan sistematis KPK oleh lembaga yang secara hakikat melahirkan KPK lewat aspek yuridis-formal (keluarnya UU KPK) benar-benar tengah dan akan dijalankan DPR.
Karena sesungguhnya, hampir tak ada hal positif yang bisa diambil dari pernyataan Mas Zuki itu selain deligitimasi KPK secara terang. Alibi-alibi yang dikeluarkan untuk mendukung pernyataan tersebut bisa dengan mudah dibantah publik.
Republik Korup
Menjadi tak aneh usulan Mas Zuki—yang disebutnya melawan logika umum—ketika kondisi ekonomi negara campleng, korupsi minim seperti di Singapura atau China, dan atau pejabatnya bersikap benar-benar anti terhadap korupsi. Apa realitasnya? Usulan Marzuki yang “visioner” itu tak didukung oleh realitas dan empirisme praktik koruptif di negeri ini. Korupsi kita masih “diatas nalar”.
Korupsi kita masih liar dan sukar dikendalikan. Hampir keseluruhan lembaga negara terkena sindroma koruptif akut. Lembaga peradilan dan lembaga dewan pada 2003, menurut Data Transparancy International masih yang terkorup. Sedangkan parpol menurut survey Barometer Korupsi Global Transparansi Indonesia memperlihatkan intimitasnya dengan uang yang begitu lekat sehingga berimplikasi pada suap, korupsi, dan lainnya, di empat tahun berdekatan 2003, 2004, 2007, dan 2008.
Fenomena suap di kalangan politisi pragmatis tak kalah dibandingkan dengan korupsinya itu sendiri. Data ICW menandakan ada peningkatan kasus pada 2010 dibandingkan 2009 yang “hanya” 42 tersangka, dengan menjadi 69 tersangka. Hal tersebut tentu saja berimplikasi pada kerugian negara yang pula meningkat dari Rp 470,6 miliar menjadi Rp 619,13 miliar pada 2010.
Realitas diatas semakin ditunjang oleh hasil penelitian Transparansi Indonesia (TI) yang menyatakan masih menggebyah-uyahnya berbagai praktik koruptif pada bidang bisnis, yang meliputi berbagai ijin usaha: hak guna usaha (HGU), izin mendirikan bangunan (IMB), ijin domisili, ijin ekspor, ijin bongkar muat barang, dsb, pajak: restitusi pajak, penghitungan pajak, pungutan liar oleh berbagai instansi terutama kepolisian dan imigrasi serta pengadaan barang dan jasa baik melalui proses tender atau penunjukkan langsung.
Dari kesemua prosesi bisnis itu, semua tahapannya mesti melalui “zona korupsi” sampai beberapa layer. Hasil cermatan TI demikian sejalan dengan Studi Integritas yang digelar Direktorat Litbang KPK tahun 2007. Dalam Studi Integritas tersebut diketahui bahwa unit-unit layanan semisal Bea Cukai, Pajak, layanan ketenagakerjaan dan imigrasi menduduki peringkat terendah dalam urusan integritas. Layanan pajak misalnya, mempunyai skor “merah” yakni 5,96. Terlebih skor untuk pelayanan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang hanya 3,45.
Berbahaya lagi ketika mayoritas publik menganggap bahwa rendahnya kualitas integritas sektor pelayanan publik adalah hal yang wajar sehingga mendorongnya dengan memberikan imbalan (seperti pada kasus pembuatan KTP, pencairan dana BLT di desa, misalnya) dianggap sah-sah saja. Masyarakat banyak yang tak sadar bahwa jika hal demikian terus menerus dilakukan progresifitas dan impelementasi good governance yang selama ini didengung-dengungkan pemerintah semakin sulit ditataran aplikatif.
Hal tersebut, tergambar bahwa begitu ruwet dan kompleksnya persoalan korupsi ini karena menjalar ke semu lini kehidupan. Fakta dan realitas itu, barangkali, yang tak difahami oleh Mas Zuki sehingga dengan entengnya berbicara menyoal pembubaran KPK.
Katakan Tidak untuk Maafkan Koruptor!
Jujur saja, sedikitpun, usulan pembubaran KPK dan pemaafan koruptor tak masuk di akal sehat saya. Pertama, terkait pembubaran KPK yang didasarkan pada ketiadaan tokoh bangsa ini untuk berdiri memimpin lembaga sekredibel KPK. Masih banyak saya kira tokoh yang idealis, kredibel, akseptabel, bermoral, berintegritas, faham akan persoalan carut-marutnya korupsi di Indonesia. Refresentasinya terlihat pada ke-17 nama yang baru saja lolos tes pembuatan makalah oleh panitia seleksi (pansel KPK) yang diketuai Menkumham Patrialis Akbar.
Kinerja pansel yang reaktif dan terbuka tentu menumbuhkan optimisme publik terkait akan lahirnya pimpinan KPK yang diharapkan. Lihat saja ketika nama Chandra Hamzah, Ade Rahardja dan Johan Budi disebut-sebut Nazaruddin, ketiganya langsung gagal tak masuk seleksi lanjutan. Meski tak ada kepastian menyoal alasan gugurnya 3 orang di intrenal KPK itu, selain normatif karena dianggap tak layak dari sisi aspek teknis (pembuatan makalah), namun banyak orang berfikir hal itu disebabkan semata-mata reaktifnya pansel KPK terhadap opini yang berkembang di ruang publik. Dalam konteks ini, pansel KPK terlihat sangat hati-hati dan sangat sensitif dalam penetuan siapa-siapa yang bakal diloloskan dan yang digugurkan.
Kedua, terkait memulangkan dan memaafkan para koruptor di luar negeri secara nasional. Dikembalikan lagi dari nol sambil menerapkan undang-undang (UU) Pembuktian Terbalik. Pertanyaanya, apakah mereka (koruptor) mau untuk pulang ke Indonesia? Kalaupun mau pulang, apakah ada jaminan uang negara yang mereka gondol masih tersisa? Bagaimana jika yang menyisa tinggal orangnya saja, uangnya sudah ludes, apakah tetap dimaafkan? Pertanyaan lanjutannya, apakah Mas Zuki punya data lengkap dan valid ihwal para koruptor Indonesia di luar negeri dari lintas rezim?
Sebab itu, musykil dan terlalu berisiko implementasi usulan Mas Zuki tersebut. Jadi, mengutip jargon politik PD pada saat kampanye pemilu 2009, katakan tidak untuk maafkan koruptor!
*Artikel dimuat Radar Banten, Jumat 05/08/2011.