Opini

Jumat, 12 Agustus 2011

Mas Zuki dan Maafkan Koruptor

0 komentar
 
Oleh: Ecep Heryadi, Analis Sosial Politik UIN Jakarta, Fellow Jejaring Intelektual Publik Indonesia (JIPI)*


Wajah perpolitikan Indo­ne­sia kembali ga­duh. Se­jatinya riuh rendah oleh ber­ba­gai manuver dan aktifisme para elite politik yang jauh pang­gang dari api antara kata dan apli­kasi, dianggap su­dah wajar. Namun, ke­ti­dak­wa­jaran menyoal ma­nuver/ wa­cana Ketua DPR Mar­zuki Alie yang juga Wakil Ke­tua Dewan Pembina Partai De­mokrat masif menyeruak ke mu­ka publik akhir-akhir ini: dengan menge­lin­dingkan isu bu­barkan KPK. 

Sontak publik tercengang. Nalar Ma(s)rzuki kontraproduktif dengan nalar publik. Tak heran jika tokoh bangsa sekelas Buya Syaf­ii Ma’arif menyebut Mas Zuki se­dang tak sadar (ketika meng­u­sulkan pembubaran KPK). Ada apa dengan Mas Zuki? Bukankah Ke­tua Dewan Pembina PD, SBY, dalam Rakornas di Bogor meng­atakan, “jangan hanya karena nilai setitik, rusak susu se­be­langa dalam konteks buron KPK, M. Na­zaruddin yang berhasil meng­obrak-abrik PD sampai ke titik na­dir”. Mengapa itu pula tak di­ber­lakukan untuk KPK?

Jangan karena satu-dua nama pim­pinan KPK—M.Jasin, Chan­dra M. Hamzah, Johan Budi, Ade Rahardja—lantas berasumsi bah­wa lembaga yang masih di­percaya publik ini mesti di­bu­bar­kan. Benar kata Advokat Se­nior Adnan Buyung Nasution bah­wa yang mesti dibuarkan itu PD dan DPR, bukan KPK, ka­rena di dua lembaga ter­se­but­lah yang paling banyak “orang tak beres”-nya. Merujuk pada ha­sil penelitian beberapa LSM, par­tai politik dan institusi dewan adalah lembaga yang paling tak dipercaya publik karena korup, ku­rang aspiratif, dan seringnya me­lakukan blunder.

Pernyataan Mas Zuki tentu ber­efek besar dalam upaya pem­be­rantasan korupsi di tanah air. Po­s­i­sinya sebagai ketua lembaga ting­gi negara bisa difahami publik se­bagai refresentasi DPR secara ke­seluruhan yang ingin mem­bu­barkan KPK. Apa dampaknya? Apa­­tisme publik dan makin ter­­degradasinya trust masyarakat ter­­hadap DPR khususnya, akan se­makin terjadi. Lebih dari itu, sinya­lemen pelemahan sistematis KPK oleh lembaga yang secara ha­kikat melahirkan KPK lewat as­pek yuridis-formal (keluarnya UU KPK) benar-benar tengah dan akan dijalankan DPR.
Karena sesungguhnya, hampir tak ada hal positif yang bisa di­am­bil dari pernyataan Mas Zuki itu selain deligitimasi KPK secara te­rang. Alibi-alibi yang di­ke­luar­kan untuk mendukung per­nya­taan tersebut bisa dengan mu­dah dibantah publik.

Republik Korup
Menjadi tak aneh usulan Mas Zuki—yang disebutnya melawan lo­gika umum—ketika kondisi eko­nomi negara campleng, ko­rup­si minim seperti di Singapura atau China, dan atau pejabatnya ber­sikap benar-benar anti ter­ha­dap korupsi. Apa realitasnya? Usulan Marzuki yang “visioner” itu tak didukung oleh realitas dan empirisme praktik koruptif di ­negeri ini. Korupsi kita masih “diatas nalar”.


Korupsi kita masih liar dan su­kar dikendalikan. Hampir ke­seluruhan lembaga negara terkena sindroma koruptif akut. Lem­baga peradilan dan lembaga de­wan pada 2003, menurut Data Trans­parancy International ma­sih yang terkorup. Sedangkan par­pol menurut survey Ba­ro­meter Korupsi Global Trans­pa­ran­si Indonesia memperlihatkan in­ti­mitasnya dengan uang yang be­gitu lekat sehingga berimplikasi pa­da suap, korupsi, dan lainnya, di empat tahun berdekatan 2003, 2004, 2007, dan 2008.


Fenomena suap di kalangan po­litisi pragmatis tak kalah di­bandingkan dengan korupsinya itu sendiri. Data ICW me­nan­da­kan ada peningkatan kasus pa­da 2010 dibandingkan 2009 ya­ng “hanya” 42 tersangka, dengan men­jadi 69 tersangka. Hal tersebut tentu saja ber­impli­ka­si pada ke­rugian negara yang pula me­ning­kat dari Rp 470,6 miliar men­jadi Rp 619,13 miliar pa­da 2010.


Realitas diatas semakin di­tun­jang­ oleh hasil penelitian Trans­pa­ransi Indonesia (TI) yang men­­ya­takan masih menggebyah-uyah­n­ya berbagai praktik koruptif pa­da bidang bisnis, yang meliputi ber­bagai ijin usaha: hak guna usaha (HGU), izin mendirikan bangunan (IMB), ijin domisili, ijin ekspor, ijin bongkar muat ba­rang, dsb, pajak: restitusi pajak, peng­hitungan pajak, pungutan liar oleh berbagai instansi ter­uta­ma kepolisian dan imigrasi serta pengadaan barang dan ja­sa baik melalui proses tender atau penunjukkan langsung.


Dari kesemua prosesi bisnis itu, semua tahapannya mesti me­lalui “zona korupsi” sampai be­berapa layer. Hasil cermatan TI demikian sejalan dengan Studi In­teg­ritas yang digelar Direktorat Lit­bang KPK tahun 2007. Dalam Stu­di Integritas tersebut diketahui bah­wa unit-unit layanan semisal Bea Cukai, Pajak, layanan ke­te­na­gakerjaan dan imigrasi men­duduki peringkat terendah da­lam urusan integritas. Layanan pa­jak misalnya, mempunyai skor “merah” yakni 5,96. Terlebih skor untuk pelayanan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang hanya 3,45.


Berbahaya lagi ketika mayoritas pub­lik menganggap bahwa ren­dah­nya kualitas integritas sektor pe­layanan publik adalah hal yang wajar sehingga men­do­rong­nya dengan memberikan im­balan (seperti pada kasus pem­­buatan KTP, pencairan dana BLT di desa, misalnya) dianggap sah-sah saja. Masyarakat banyak yang tak sadar bahwa jika hal de­­­mikian terus menerus di­la­ku­­kan progresifitas dan im­pe­lem­entasi good go­ver­nance yang se­lama ini didengung-dengung­kan pemerintah semakin sulit di­ta­taran aplikatif.


Hal tersebut, tergambar bahwa begitu ruwet dan kompleksnya per­soalan korupsi ini karena men­jalar ke semu lini kehidupan. Fakta dan realitas itu, barangkali, yang tak difahami oleh Mas Zuki se­hingga dengan entengnya ber­bicara menyoal pembubaran KPK.


Katakan Tidak un­­tuk Ma­afkan Koruptor!

Jujur saja, sedikitpun, usulan pem­bubaran KPK dan pemaafan ko­r­uptor tak masuk di akal sehat sa­ya. Pertama, terkait pem­bu­baran KPK yang didasarkan pada ke­t­iadaan tokoh bangsa ini untuk ber­diri memimpin lembaga sek­re­dibel KPK. Masih banyak saya kira tokoh yang idealis, kredibel, ak­sep­tabel, bermoral, ber­in­teg­ri­tas, faham akan persoalan ca­rut-marutnya korupsi di In­do­nesia. Refresentasinya terlihat pa­da ke-17 nama yang baru saja lo­los tes pembuatan makalah oleh panitia seleksi (pansel KPK) ya­ng diketuai Menkumham Patrialis Akbar.


Kinerja pansel yang reaktif dan ter­buka tentu menumbuhkan op­timisme publik terkait akan la­hirnya pimpinan KPK yang di­harapkan. Lihat saja ketika nama Chandra Hamzah, Ade Rahardja dan Johan Budi disebut-sebut Nazaruddin, ketiganya lang­sung gagal tak masuk seleksi lanjutan. Meski tak ada kepastian men­yoal alasan gugurnya 3 orang di intrenal KPK itu, selain nor­ma­tif karena dianggap tak layak da­ri sisi aspek teknis (pembuatan ma­kalah), namun banyak orang ber­fikir hal itu disebabkan se­mata-mata reaktifnya pansel KPK terhadap opini yang ber­kem­bang di ruang publik. Dalam konteks ini, pansel KPK terlihat sangat hati-hati dan sangat sen­sitif dalam penetuan siapa-siapa yang bakal diloloskan dan yang di­gugurkan.


Kedua, terkait memulangkan dan memaafkan para koruptor di luar negeri secara nasional. Di­kem­ba­likan lagi dari nol sambil me­ne­rap­kan undang-undang (UU) Pem­buktian Terbalik. Per­tan­yaanya, apakah mereka (ko­rup­tor) mau untuk pulang ke In­donesia? Ka­lau­pun mau pu­lang, apakah ada ja­minan uang negara yang mereka gondol ma­sih tersisa? Bagaimana jika yang menyisa tinggal orangnya saja, uangnya su­dah ludes, apakah tetap di­ma­af­kan? Pertanyaan la­n­ju­tannya, apakah Mas Zuki punya data lengkap dan valid ihwal para koruptor Indonesia di luar negeri dari lintas rezim? 
Sebab itu, musykil dan terlalu be­ri­siko implementasi usulan Mas Zuki tersebut. Jadi, mengutip jar­gon politik PD pada saat kampanye pemilu 2009, katakan tidak untuk maafkan koruptor!


*Artikel dimuat Radar Banten, Jumat 05/08/2011.

Leave a Reply