Opini

Jumat, 12 Agustus 2011

Korupsi Politik

0 komentar
 
Oleh: YB Purwaning M Yanuar, advokat dan doktor ilmu hukum Universitas Padjajaran Bandung*


Kepercayaan masyarakat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menurun. Demikian hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang diumumkan di Jakarta, Minggu (7/8) lalu. Menurut LSI, jika Oktober 2005 tercatat 58,3% responden percaya KPK bertugas tanpa pandang bulu, hasil survei pada Juni 2011 anjlok ke 41,6%. Turunnya kepercayaan publik kepada KPK, menurut LSI, terjadi pada kasus yang berhubungan dengan penguasa.




Dalam literatur mengenai korupsi, kejahatan korupsi yang berhubungan dengan penguasa itu disebut atau dikategorikan sebagai korupsi politik (political corruption) atau grand corruption. Korupsi ini melibatkan para pembuat keputusan politik yang memiliki kekuasaan membuat hukum, peraturan dan kebijakan. Contohnya, kebijakan dalam pembuatan dan penentuan anggaran di DPR-RI. Praktik-praktik mafia anggaran merupakan salah satu bentuk korupsi politik. Yang dapat terlibat dalam korupsi politik adalah pemegang kekuasaan eksekutif (para pejabat pemerintah, anggota kabinet), legislatif (para anggota DPR), yudikatif (para hakim Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tinggi).

Korupsi politik merupakan penyalahgunaan kekuasaan politik untuk keuntungan pribadi atau kelompok, seperti untuk penggalangan dana bagi partai politik. Korupsi macam ini umumnya dilakukan dalam dua bentuk. Pertama, bentuk akumulasi dan perampasan kekayaan, baik dari sektor swasta maupun dari anggaran negara yang merupakan dana publik lewat proyek-proyek yang dibiayai oleh anggaran negara. Skandal Century, dan kasus Wisma Atlet SEA Games, merupakan contoh praktik korupsi ini.

Bentuk kedua adalah korupsi yang dilakukan untuk mendapatkan dan memperbesar kekuasaan (favouritism and patronage politics). Ini terjadi dalam pembuatan keputusan politik dan proses pemilihan, misalnya, dalam kasus pemilihan Gubernur BI. Praktik money politics dalam pemilihan ketua partai yang menggunakan uang komisi proyek yang dibiayai APBN merupakan contoh lain dari praktik korupsi ini. Turunnya kepercayaan publik kepada KPK dalam penanganan kasus korupsi politik tentu disebabkan tidak jelasnya penyelesaian kasus-kasus tersebut.

KPK terkesan gamang dan enggan. Mengapa? Kemungkinan pertama, karena KPK, termasuk para pimpinan KPK, merupakan produk dari keputusan politik para pemegang kekuasaan politik yang tersangkut kasus-kasus tersebut. Kemungkinan kedua, karena KPK baik secara sadar atau tidak, baik secara terencana atau tidak, telah mereduksi medan perang (battle ground) melawan kejahatan korupsi hanya pada korupsi birokratik (bureaucratic/administrative corruption), kejahatan korupsi yang berhubungan dengan aktivitas birokrasi yang hanya melaksanakan keputusan-keputusan politik, dan tidak menyentuh para elite kekuasaan dan elite politik.

Indikasi pergeseran yang bersifat reduksional dari medan perang melawan kejahatan korupsi ini dapat dilihat sejak dikembangkannya suatu grand design reformasi birokrasi nasional di awal tahun 2010. Ketika itu lahirlah apa yang disebut Agenda Reformasi Birokrasi. KPK sendiri pada tanggal 14 Juli 2010 mendapat penghargaan Best Action Plan dalam penyusunan rencana kerja di bidang birokrasi.

Dalam perkembangannya, agenda reformasi birokrasi ini didukung oleh pembentukan komite pengarah reformasi birokrasi nasional dan tim reformasi birokrasi nasional berdasarkan Keppres Nomor 14 Tahun 2010 yang mengalami perubahan dengan Keppres Nomor 23 Tahun 2010. Berdasarkan Keppres ini, salah satu tugas dari tim reformasi birokrasi nasional adalah menyusun rancangan utama (grand design) dan road map reformasi birokrasi 2010-2015.

Agenda reformasi birokrasi yang salah satu tujuan utamanya untuk mencegah dan memberantas praktik-praktik KKN, tentu saja baik dan penting. Tetapi, ini memberikan suatu kesan kuat bahwa medan perang melawan korupsi itu hanya pada kejahatan korupsi birokratik. Agenda ini jelas dilandaskan pada pemahaman bahwa jika birokrasi bersih praktik KKN, maka negeri ini bebas dari kejahatan korupsi.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan korupsi politik? Pengalaman negara-negara lain dalam memerangi kejahatan korupsi menunjukkan bahwa suatu negara tidak akan dapat memberantas kejahatan korupsi birokratik tanpa terlebih dahulu memberantas kejahatan korupsi politik yang merupakan biangnya korupsi. Kasus Wisma Atlet memberikan gambaran yang jelas mengenai praktik korupsi politik itu.

Dalam perang melawan korupsi, salah satu misi utama KPK sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 6 huruf c juncto Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/ atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000. 000,00 (satu miliar rupiah). Tujuan (ratio legis) yang merupakan jiwa (anima legis) ketentuan ini, khususnya ketentuan minimal jumlah kerugian negara, menunjukkan bahwa medan perang utama KPK itu adalah kejahatan korupsi politik.

Maka, untuk memulihkan kepercayaan publik dan untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diamanatkan Pasal 6 huruf c juncto Pasal 11 tersebut, sudah seharusnya KPK melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap kasus-kasus korupsi politik. Penanganan kasus Wisma Atlet dan kasus-kasus lain yang diduga melibatkan Nazaruddin secara tuntas, tidak hanya merupakan cerminan kesungguhan KPK dalam memerangi korupsi politik tanpa diskriminatif. Tetapi, sekaligus merupakan batu ujian bagi KPK dan bagi kesungguhan kemauan politik (political will) pemerintah dalam memerangi kejahatan korupsi di negeri ini. 

*Artikel dimuat Suara Karya, Jumat 12/08/2011.


Leave a Reply