Opini

Minggu, 14 Agustus 2011

Generasi Muda dan Kerangka Berpikir

0 komentar
 
Oleh: Mohamad Ridha, Pengurus Islamic Society of Greater Portland (ISGP) dan Indonesian Muslim Society of America (IMSA)*


Pada era globalisasi sekarang ini, pada saat orang bisa berinteraksi dengan yang lain di negara yang berbeda ras, bahasa, kultur, juga agamanya, tidak sedikit umat Islam, terutama generasi mudanya, yang mulai berpikir kritis dan mempertanyakan kebenaran pokok keimanan dan aturan agama mereka. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman pribadi, pelajaran agama Islam di sekolah dasar dan menengah lebih bersifat kepada doktrin dan sangat sedikit (kalau bisa dibilang ada) yang membahas masalah apologetika, yakni dalam menyikapi masalah berkenaan dengan dasar keimanan agama.

Pertanyaan-pertanyaan seperti "Apa bukti Tuhan itu ada?", "Mengapa Tuhan menciptakan keburukan di muka bumi?", "Mengapa kita perlu beragama?", "Apa bukti Alquran itu wahyu Tuhan?", dan yang semacamnya, tampak tidak banyak dibahas secara logis dan terbuka dalam pelajaran agama Islam di sekolah. Kalaupun disinggung, hanya sepintas dan yang lebih terasa penekanan doktrinisasinya.

Mungkin di zaman dulu, orang yang bertanya mengenai keimanan seperti ini akan dicap 'kafir' oleh guru agama. Mungkin, saat ini pun tidak sedikit guru agama dan juru dakwah yang beranggapan buat apa buang waktu menjawab hal apologetika macam itu karena masih banyak urusan umat yang harus diperbaiki. Padahal, seharusnya mereka menyadari bahwa bila tidak ada yang peduli terhadap masalah ini, cepat atau lambat, generasi muda Islam akan merasakan dampak negatifnya.

Kalau kurikulum pendidikan agama di sekolah tidak mampu membahas masalah apologetika yang ditanyakan generasi muda Islam ini, ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Mereka akan berusaha mencari sumber-sumber informasi dari luar yang dapat menjawab pertanyaan mereka dan itu mungkin saja mengantarkan kepada pemahaman yang benar atau salah.

Jawaban itu bisa melahirkan sikap ekstrem dalam beragama, atau sikap liberal dengan menghalalkan segala cara, atau bahkan bersikap ragu terhadap agama. Bila keraguan ini makin menumpuk, mereka tidak segan memproklamasikan diri keluar dari agama, atau bahkan mencela dan mencaci agama.

Seharusnya para guru agama dan dai memahami permasalahan ini dan mau memperluas wawasan mereka sehingga siap menghadapi pertanyaan apa pun yang mungkin saja sebelumnya tidak pernah terdengar (atau tidak berani) ditanyakan oleh generasi di zaman mereka.

Tidak sedikit ulama, termasuk keempat imam mazhab, zaman dulu ketika membahas masalah agama-baik itu akidah, ibadah, maupun muamalah-menggunakan kerangka dan metode argumentasi yang baik dalam menanggapi masalah keimanan. Sayangnya metode berpikir terstruktur tersebut tampaknya jarang dipakai guru agama dan juru dakwah. Tidak jarang ketika menanggapi pandangan yang berbeda, lebih terasa nada emosionalnya daripada kekuatan argumentasinya.

Hal ini juga bisa dilihat dalam banyak polemik di arena perang pemikiran (ghazwul fikr), baik kalangan internal (liberalis, ekstremis, dan sektarian) maupun kalangan eksternal (ateis, orientalis, misionaris, dan kelompok anti-Islam), yang dapat memengaruhi keimanan umat Islam, terutama generasi mudanya.

Kerangka berpikir
Dalam argumentasi, setiap pendapat (claim), harus ada dasar, alasan (ground) yang mendukungnya. Kebenaran alasan ini bisa dilihat dari (1) fakta (bila bisa diverifikasi) dan (2) logika yang menghubungkan alasan dengan pendapat yang dilontarkan.

Contohnya paham ateis yang mengklaim bahwa "Tuhan itu tidak ada" dengan alasan karena tidak bisa dilihat. Hal ini dapat dianalisis kebenarannya dengan mempertanyakan hubungan antara alasan dan klaim tersebut. Apakah sesuatu itu selalu tidak ada kalau tidak bisa dilihat? Karena alasan yang dipakai tidak bisa mendukung klaim yang dilontarkan, ia tidak bisa diterima.

Contoh lainnya pendapat yang mengatakan "Alquran itu ciptaan Muhammad" dengan alasan "beliau menjiplak Alkitab." Hal ini dapat dianalisis dengan mengecek benar tidaknya fakta dalam alasan tersebut. Adakah fakta yang bisa dipercaya (factual evidence) bahwa beliau menjiplak Alkitab? Seorang yang melempar tuduhan harus bisa membawa bukti terhadap tuduhannya. Karena tidak ada faktanya, pendapat tersebut tidak bisa kita terima.

Dari sini, bisa dilihat bahwa dalam menganalisis argumentasi satu pendapat, selain kerancuan fakta dalam alasan yang dipakai (factual fallacy) perlu diwaspadai pula kerancuan berpikir (logical fallacy). Tujuannya agar terhindar dari kesimpulan atau pendapat yang salah.
Logical fallacy ini banyak bentuknya. Misalnya kerancuan definisi dan konteks dalam penggunaan kata (equivocaton, out of context), kerancuan kriteria atau standar dalam menilai (double standard), kerancuan contoh yang tidak relevan (red herring), kerancuan membahas pendapat lawan yang diubah bentuknya sehingga menjadi tidak relevan (straw man), penyerangan personal pendapat yang beda yang tidak ada kaitannya dengan diskusi (ad hominem), kerancuan asumsi yang digunakan (bifurcation, hasty generalization), dan masih banyak lainnya.

Contohnya, dalam pendapat "Tuhan itu tidak ada" dengan alasan "kalau Dia ada, pasti Dia tidak akan membiarkan adanya keburukan di muka bumi." Hal ini bisa dilihat adanya kerancuan asumsi di dalamnya, kalau tidak begini pasti begitu (bifurcation/false dilemma). Tak tahunya kita terhadap alasan mengapa Tuhan bersikap demikian, bukan berarti Tuhan itu tidak ada. The absence of evidence does not necessarily mean the evidence of absence.

Masih banyak contoh lain yang bisa dianalisis dengan menggunakan kerangka berpikir dan argumentasi ini. Framework ini hanyalah sebuah alat netral yang bisa dipakai oleh siapa saja, untuk permasalahan apa saja, tidak hanya dalam hal agama. Sayang, jika hal ini tidak digunakan oleh umat Islam, apalagi guru agama dan juru dakwahnya dalam memberikan pemahaman kepada umat.

Mudah-mudahan, dengan mempelajari dan mengetahui lebih jauh framework ini, metode pengajaran agama Islam di sekolah maupun di luar sekolah, terutama masalah apologetika yang berhubungan dengan pemahaman masalah keimanan dalam agama dapat diperbaiki dan ditingkatkan lagi sehingga bisa berhasil menanamkan keyakinan yang benar dan solid terhadap Islam, terutama di kalangan generasi mudanya. Amin. Wallahu 'alam.

*Artikel dimuat Republika, Senin 15/08/2011

Leave a Reply