Opini

Jumat, 12 Agustus 2011

Ramadhan dan Simbolisasi Agama

0 komentar
 
Oleh Taufiqurrahman SN, Peneliti Pada ARENA Literacy Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta*


Ramadhan telah datang, gerak-gerumuhnya menyihir segala lini kehidupan. Ramadhan memang bulan penuh berkah bagi semua orang;  Islam, Kristen, Buddha, Hindu, Konghucu bahkan ateis sekalipun, karena Ramadhan sendiri tidak beragama. Ramadhan hanya sebuah nama untuk membedakan dengan nama bulan yang lain. Sehingga, tidak beralasan mengklaim Ramadhan hanya milik orang Muslim, sementara orang lain dilarang mendekat-dekati.

Keberkahan Ramadhan dirasakan hampir setiap orang. Mulai dari orang miskin, anak jalanan, peminta-minta, sampai pengusaha sukses, bahkan Presiden pun mendapatkan sihir pancaran kehangatan Ramadhan. Gairah untuk beribadah tiba-tiba terasa kuat menyentak-nyentak. Bahkan, jauh hari sudah dipersiapkan agenda-agenda di bulan Ramadhan secara rapi.

Gemuruh perdagangan terlihat sesak berdesak-desakan menyajikan berbagai menu berbuka. Gerai, toko dan 'pasar siluman' banyak bermunculan di sepanjang jalan atau di tempat-tempat khusus. Laju perputaran ekonomi pun semakin deras, tanpa adanya kecurigaan-kecurigaan yang terselip di benak kita. Seakan-akan perayaan Ramadhan yang disambut dengan gemulai lonjakan harga bahan-bahan pokok, semaraknya mushala-mushala dan masjid-masjid, dianggap sebagai hal yang  wajar. Tanpa terlintas keganjilan sedikit pun.

Tetapi, kita jarang sekali --untuk tidak mengatakan 'tidak sama sekali-- Ramadhan yang dahulu sampai sekarang belum memberikan dampak realis terhadap keagamaan maupun kemasyarakatan secara masif. Apakah jangan-jangan pemahaman Ramadhan sebagai ajang untuk berlomba kebaikan telah terlupakan dan terabaikan oleh sifat-sifat rakus, egois, dan pragmatis. Sehingga, yang ditonjolkan adalah kulit luar dari puasa itu sendiri, yakni menahan makan dan minum dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.

Tak hanya itu, tradisi-tradisi filosofis semisal pemberian kuwe apem menjelang Ramadhan telah kehilangan nilai-nilai kemanusiaan maupun filosofisnya. Kata apem sendiri merujuk pada bahasa arab "afwan" yang artinya maaf atau memaafkan.

Hal ini sesuai perintah Nabi Muhammad yang mengajak umatnya untuk menyambut bulan Ramadhan dengan saling memaafkan. Namun secara implisit, nilai-nilai agung itu telah terdistorsi oleh perkembangan dunia modern. Masyarakat lebih mengutamakan tradisi sebagai ritual dan rutinitas setahun sekali, tradisi hanya dijadilan simbol agama tertentu, daripada pemahaman dan penghayatan nilai filosofis yang terkandung di dalamnya.

Kondisi seperti inilah yang dinamakan simbolisasi agama. Agama telah dibungkus nilai-nilai religiusitas yang memesona tanpa adanya artikulasi simbol secara filosofis. Media iklan yang berperan sebagai sarana untuk mencitrakan Ramadhan sebagai bulan yang berkah, penuh ampunan, religius, dan sosialis telah tergadaikan dengan tampilan-tampilan iklan yang cenderung kapitalis. Simbolisasi-simbolisasi keliru inilah yang semestinya dipahami sebagai realitas baru di bulan Ramadhan.

Realitas semu
Kejumudan masyarakat akan terpaan simbol-simbol agama tidak dibarengi dengan refleksi pribadi mengenai pemahaman beragama. Sehingga, masyarakat hanya berkutat dan berhenti pada simbol-simbol kaku tanpa adanya artikulasi lanjut terkait godaan simbol agama yang cenderung mengarah pada realitas semu. Realitas semu adalah bangunan abstrak yang tersusun secara rapi untuk mengubah dan membentuk perilaku sosial karena adanya proses simbolisasi.

Tak ayal, jika masyarakat kita dikatakan sebagai masyarakat simbolis, masyarakat yang lebih mengutamakan kulit luar daripada isi. Bahkan, tipuan-tipuan simbol sangat kentara di pelbagai lini kehidupan, mulai medan politik sampai budaya. Tipuan-tipuan simbol ini dijadikan alat untuk meraih kepentingan-kepentingan pribadi.

Sebagai contoh, proses pencitraan politik yang dilakukan oleh para politisi maupun aparatur negara merupakan dunia yang penuh dengan simbol dan kebohongan. Mereka sering memanfaatkan momentum religius untuk mencipta simbol "kebaikan" yang ditonjolkan lewat perilaku-perilaku positif. Semisal mengadakan acara buka bersama, tarawih bersama, maupun acara pribadi yang menonjolkan "sifat-sifat kemanusiaannya".

Namun, simbolisasi-simbolisasi itu sangat ironis, ketika kita masih menyaksikan kelaparan, kemiskinan, dan ketidakadilan di sudut-sudut kota dan di pelosok desa. Lebih menyayat hati lagi  ketika kita melihat tingkat korupsi yang semakin menjadi-jadi. Kita merasa ingin 'marah sangat' ketika di satu sisi patologi sosial (kemiskinan, kriminalisasi, ketidakadilan, dan pengangguran) menyeruak tanpa solusi, di sisi lain para politisi maupun aparatur negara melakukan korupsi bermiliar-miliaran uang rakyat.

Bahkan, anehnya tidak ada rasa bersalah yang terlukis sedikit pun di wajah para koruptor negeri ini, bahkan mereka bangga jika mampu berkorupsi dan mempermainkan rakyat. Di sisi lain kita disangsikan oleh pemahaman simbolisasi agama yang keliru. Di bulan Ramadhan, hampir setiap masjid melantunkan bacaan ayat-ayat suci melalui speaker yang terdengar gagah di angkasa.

Tapi, sayangnya ayat-ayat suci itu dipahami hanya sebatas teks-teks sakral atau simbol religiusitas dan syiar Islam. Sangat jarang yang memahami makna atau filosofi di balik teks-teks suci itu, sehingga yang terjadi adalah perilaku yang kadang justru sangat kontra-produktif dengan pesan-pesan teks suci tersebut. Teks suci berbicara tentang rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta), tapi ironisnya para pemeluknya justru mengganggu orang lain dengan merusak toko dan warung secara paksa.

Teks suci berkata bahwa shalat mencegah perbuatan keji  dan tercela, tapi ironisnya berapa persen orang yang ber-KTP Muslim  terjerat kasus korupsi? Inilah yang merupakan bahan refleksi kita bersama dalam beragama, selama ini kita masih terjebak pada realitas semu yang bercirikan mengagung-agungkan simbol dari pada nilai-nilai filosofis di baliknya.

Pada momentum bulan Ramadhan ini, sangat menarik apa yang pernah dikatakan M Amin Abdullah bahwa puasa yang terkandung dalam bulan Ramadhan tidak semata-mata sebagai "doktrin" kosong yang harus dijalani begitu saja, tanpa mengenal makna terdalam serta implikasi dan konsekuensi praktisnya dalam kehidupan nyata sehari-hari.

*Artikel dimuat Republika, Rabu 10/08/2011.

Leave a Reply