Opini

Jumat, 12 Agustus 2011

Pangan Aman, Puasa Nyaman

0 komentar
 
Oleh: Alexander Arie SD, Apoteker, Alumnus Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta*
SEBAGAI negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, datangnya bulan suci Ramadan tentu memberi dampak besar pada pola kehidupan secara global. Beberapa pekan sebelum memasuki Ramadan, harga bahan pangan mulai merangkak naik. Penyebab klasik adalah kenaikan permintaan pasar. Sesuai hukum ekonomi, kenaikan permintaan dengan pasokan yang tidak paralel otomatis akan menaikkan harga.
Permintaan akan bahan pangan yang meningkat tentu terkait erat dengan budaya masyarakat. Bulan penuh rahmat ini memang ditandai dengan berpuasa sehari penuh. Di sisi lain, hidangan istimewa telah menjadi rutinitas untuk berbuka puasa. Aspek inilah yang memberi dampak pada tingginya permintaan.

Besarnya permintaan tentu harus menjadi perhatian tersendiri bagi konsumen. Kewaspadaan akan bahan pangan yang tidak memenuhi standar keamanan perlu ditingkatkan. Di hari-hari awal bulan ini, berita-berita tentang ayam tiren (mati kemaren) dan sapi gelonggongan sudah mulai muncul. Titik kritis ini sejatinya menjadi perhatian bersama. Aspek keamanan pangan sejatinya merupakan isu global.

Salah satu yang masih hangat adalah soal wabah bakteri Escherichia coli di Eropa. Bakteri yang sejatinya merupakan flora normal di dalam tubuh manusia ini berbalik menjadi sumber penyakit. Tentu, menjadi pertanyaan ketika bangsa-bangsa Eropa yang memiliki perhatian lebih pada aspek keamanan pangan justru kecolongan.

Salah satu yang wajib menjadi alat bersama untuk bersikap waspada adalah standar keamanan pangan. Badan Standarisasi Nasional (BSN) sendiri telah menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) ISO 22000:2009 mengenai Sistem Manajemen Keamanan Pangan. Standar nasional ini hendaknya dapat menjadi alat bantu terwujudnya keamanan pangan.

Standar keamanan pangan di dunia beragam. Sebut saja British Retail Consortium (BRC), The International Food Standard (IFS), The Safe Quality Food Programme (SQF), Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP), The Global Food Safety Initiative (GFSI), dan ISO 22000. Berbagai standar yang ada ini pada prinsipnya memuat tiga aspek penting, yakni: program persyaratan dasar, analisis bahaya titik kendali kritis, dan sistem manajemen.

Apabila mengacu pada SNI, bisa jadi cakupannya meluas. SNI sendiri membahas hingga ke aspek dokumentasi dan penarikan kembali--suatu proses yang identik dengan proses yang ada di industri. Namun, apakah kita tidak bisa menerapkan aspek-aspek dari SNI dalam upaya mewujudkan keamanan pangan? Tentu saja bisa. Seperti disebutkan sebelumnya, sistem keamanan pangan terbagi menjadi tiga aspek penting yang saling terkait. Hubungan keterkaitan ini diperoleh melalui identifikasi terhadap proses yang terjadi secara urut. Sebut saja jika yang dibahas adalah distribusi daging sapi, maka identifikasi yang dilakukan adalah mengenali tahapan-tahapan sejak sapi mulai dipotong hingga sampai ke konsumen untuk siap dikonsumsi.

Seluruh proses yang terjadi di sepanjang rantai pangan sejatinya mengandung aspek bahaya, namun tidak seluruhnya perlu dikendalikan. Aspek bahaya bisa saja muncul namun pada probabilitas atau tingkat keparahan yang kecil. Suatu bahaya dapat saja sering terjadi, namun tingkat keparahannya kecil. Atau sebaliknya, bisa saja jarang terjadi, namun sekali terjadi, tingkat keparahannya tinggi.

Kombinasi antara probabilitas dan tingkat keparahan akan menentukan signifikansi dari suatu aspek bahaya. Signifikansi sendiri akan menentukan pengendalian dari aspek bahaya yang dimaksud, lewat pembahasan “pohon" keputusan. Hasil dari pembahasan di pohon keputusan inilah yang membagi suatu aspek bahaya menjadi program persyaratan dasar atau titik kritis.

Contoh, dalam proses pembuatan kolak guna berbuka puasa, seorang konsumen yang memiliki kewaspadaan atas keamanan pangan akan melakukan pemantauan sederhana perihal aspek bahaya. Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul: apakah bahan baku yang digunakan masih batas shelf-lfe yang tertera? Apakah bahan baku yang dipakai disimpan dalam keadaan baik? Apakah proses yang terjadi akan mengurangi aspek bahaya yang mungkin timbul? Apakah model penyajian yang dilakukan berpotensi menambah aspek bahaya?

Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini akan menuntut konsumen pada aspek-aspek yang nanti perlu dikendalikan keamanannya. Misal, dalam menggunakan santan kelapa instan, harus memperhatikan waktu kedaluwarsa, atau melakukan pemanasan sampai suhu optimal agar bakteri yang thermofobik mati.

Aspek lain yang sering terlupakan dalam konteks ini adalah sanitasi dan kesehatan. Dalam melaksanakan proses yang berhubungan dengan pangan, sanitasi dan kesehatan personel yang terlibat tentu menjadi aspek penting guna menjamin personel tersebut tidak menjadi penyebab ketidakamanan pangan. Hanya saja, soal ini, konsumen sering terlena oleh bantuan sistem imunitas tubuh.

Penanganan yang tidak memperhatikan sanitasi dan kesehatan yang tidak menimbulkan penyakit dianggap sebagai suatu kewajaran. Namun hal ini tentu bukan kebiasaan yang layak diteruskan. Kewaspadaan pada proses dan penjaminan sanitasi dan hygiene yang baik dalam rangkaian proses dan rantai pangan tentu menjadi alat bantu yang manjur guna penegakan standar keamanan pangan.

Suatu masalah dalam menjalankan ibadah puasa ketika akibat suatu proses yang tidak sesuai dengan keamanan pangan, konsumen terserang penyakit. Keadaan sakit kadang memaksa orang mengonsumsi obat yang agaknya dapat mengganggu hikmat beribadah puasa, atau bahkan membatalkan puasa itu sendiri.

Dalam upaya mencapai keadaan yang baik dalam berpuasa, maka peran produsen dan konsumen penting. Produsen, dengan kemungkinan tambahan pendapatan dari peningkatan permintaan, tentunya perlu mengontrol aspek-aspek bahaya dalam rantai proses yang terjadi. Sedangkan konsumen sebagai bagian akhir dari rantai pangan perlu meningkatkan kewaspadaan atas potensi bahaya yang dapat terjadi dan melakukan penanganan yang sesuai.

*Artikel ini dimuat Harian Jurnal Nasional, Jum'at 12/08/2011

Leave a Reply