Opini

Jumat, 12 Agustus 2011

RESONANSI Republika: Islam dan Demokrasi di Indonesia dan Turki (Sebuah Perbandingan)

0 komentar
 
Oleh: Syafi'i Ma'arif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah*

Guru saya almarhum Fazlur Rahman pernah mengatakan bahwa kebangkitan Islam yang sejati bukan berasal dari dunia Arab atau Pakistan, tetapi dari Indonesia dan Turki. Salah satu alasannya adalah karena kedua bangsa ini, di samping mayoritas penduduknya Muslim, juga tidak terbebani oleh konflik panjang teologis di kelampauan sejarahnya. Kedua bangsa ini lebih terbuka untuk menyerap gagasan-gagasan baru yang lebih segar.

Indonesia dengan penduduk 240 juta (88 persen Muslim) dan Turki 78 juta (97 persen Muslim) memang merupakan potensi sumber daya manusia yang dahsyat jika mendapat bimbingan dari para pemimpin yang mencerahkan. Bedanya, bumi Turki telah melahirkan seorang Recep Tayyip Erdogan, Deng Xiaoping-nya Turki, yang visioner dan karismatik, sedangkan Indonesia masih menanti kedatangan pemimpin tipe itu.

Nama Erdogan sekarang sudah sangat mendunia, tokoh-tokoh partai Islam di Indonesia umumnya jago kandang, hampir tanpa kecuali. Mereka sibuk dengan diri dan partainya masing-masing, tak punya waktu untuk melakukan perenungan mendalam tentang masalah bangsa dalam kaitannya dengan keislaman.
   
Dari sisi keragaman suku bangsa, Indonesia jauh lebih kompleks daripada Turki yang relatif homogen, sekalipun ada suku Kurdi yang ingin melepaskan diri dari Ankara. Mengenai kepartaian, kedua negara sama-sama memiliki sistem multipartai, tetapi di Turki telah muncul AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan) yang memenangkan pemilu sejak tahun 2002.

AKP memang tidak membawa simbol Islam dalam namanya, tetapi seluruh dunia tahu bahwa partai ini bercorak Islam secara ideologis. Di Indonesia, partai-partai Islam sangat beragam dan sering berpecah-belah dan baku-hantam sesama mereka, bahkan tidak jarang berasal dari subkultur yang sama.
   
Secara teoretik, kedua bangsa Muslim ini sama-sama bertekad untuk membangun sistem demokrasi yang sehat dan kuat. Bedanya, di Turki demokrasi adalah alat untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat banyak, sekalipun belum merata. Di Indonesia, demokrasi masih berkutat pada tingkat seremoni dan teknis, belum banyak mengubah nasib rakyat yang merindukan keadilan dan kesejahteraan.

Di Turki, menurut Transparensi Internasional, tahun 2010 indeks korupsi berada pada nilai 4.4, sedangkan Indonesia 2.8. Dengan demikian dalam masalah korupsi kedua negara masih dalam kategori angka merah, sekalipun Turki sedikit lebih baik. Numibia, Malaysia, dan Turki sama-sama berada pada angka 4.4. Negara-negara yang senasib dengan Indonesia adalah Bolivia, Gabon, Kosovo, Solomon Islands, dan Benin, sama-sama dengan angka 2.8. Artinya pada keenam negara ini korupsi itu telah melingkari sekujur tubuh mereka. Kapan lingkaran itu dapat diputus, tak seorang pun bisa mengatakan.

Indonesia memang punya KPK, tetapi baru berhasil menangkap koruptor-koruptor kelas ratusan atau paling miliaran rupiah. Kelas triliunan belum terjamah. Saya sudah lama mengatakan bahwa negara ini tidak serius dakam upaya pemberantasan korupsi, sekalipun presidennya telah mengeluarkan seribu instruksi, tetapi siapa yang hirau?
   
Kembali kepada masalah demokrasi dan Islam di Indonesia dan Turki. Kedua bangsa ini sudah punya modal besar untuk mengembangkan sistem demokrasi yang sehat dan berdaya guna karena secara teologis sudah terselesaikan. Baik Indonesia maupun Turki, tidak lagi menghadapi kendala apa pun dari sisi syariah untuk menjadikan demokrasi sebagai media efektif bagi kepentingan pendaratan moral Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Masalah besar untuk Indonesia adalah para pemain demokrasinya berada pada tingkat medioker. Hanya sekelompok kecil dari mereka yang benar-benar memahami bahwa sistem demokrasi itu dipilih adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejaheraan umum, tanpa kecuali. Tetapi, dengan segala borok yang masih menyertai perjalanan demokrasi di Indonesia dan Turki, satu modal sudah di tangan: Islam dan demokrasi telah aman secara teologis. Ke depan adalah mengisi demokrasi itu dengan nilai-nilai moral Islam, demi tegaknya keadilan dan meratanya kesejahteraan!

Leave a Reply