Opini

Jumat, 12 Agustus 2011

Membangun Budaya Mutu di Perguruan Tinggi

0 komentar
 
Oleh: Dwiwahju Sasongko, Mantan Dekan FTI-ITB, Anggota BAN-PT-Wakil Ketua Komite HPT-PII*


Jika kita membeli produk elektronik, seperti telepon genggam, di bagian dalam atau luar produk tersebut tersebut tertempel stiker yang berisi tulisan Passed QC (quality control). Tanda ini menunjukkan bahwa produk tersebut telah melalui pengujian sehingga memenuhi standar yang berlaku, misal SNI (Standar Nasional Indonesia). Produk yang dihasilkan pabrik seperti di atas adalah benda mati sedangkan Perguruan Tinggi (PT) menghasilkan lulusan (manusia), karya ilmiah, hak atas kekayaan intelektual (paten, hak cipta, dsb), teknologi, proses, produk, prototipe, dsb. Untuk keperluan tersebut, PT harus memiliki sistem penjaminan mutu internal (SPMI) yang terintegrasi dengan proses pendidikan dan kegiatan tridarma lainnya.

Setiap PT harus obyektif dalam melakukan evaluasi diri (self evaluation). Evaluasi diri (internally driven) merupakan salah satu kegiatan dalam SPMI. Kata kunci dalam pelaksanaan evaluasi diri adalah kejujuran. Evaluasi diri harus dilakukan sendiri (bukan oleh konsultan) sehingga dapat menampilkan 'ruh' PT. Sebuah PT yang tidak jujur dalam melakukan evaluasi diri akan menuai kerugian di masa yang akan datang.

Apakah evaluasi diri cukup? Tentu tidak. Perlu ada pihak eksternal yang melakukan evaluasi. Evaluasi eksternal ini merupakan bagian dari Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SMPE) dan dilakukan melalui akreditasi oleh lembaga independen yang berwenang dan kredibel. Cantik/tampan menurut diri sendiri akan beda dengan evaluasi orang lain jika dilakukan dengan standar yang berbeda. Agar selaras, PT harus mengadopsi standar yang berlaku. Standar mutu bersifat dinamik dan berubah seiring dengan perkembangan pendidikan tinggi dan paradigma penjaminan mutu.

Pada saat ini, secara legal Badan Akreditasi Nasional-Perguruan Tinggi (BAN-PT) adalah satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan akreditasi pada jenjang pendidikan tinggi di Indonesia. Akreditasi memberikan informasi kepada msyarakat tentang mutu PT atau program studi dan merupakan pertanggungjawaban PT kepada publik.

Standar untuk pejaminan mutu
Untuk keperluan SPMI dan SPME, PT harus memenuhi standar yang telah ditetapkan. Pemerintah telah menerbitkan PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) sebagai tindak lanjut UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). SNP terdiri dari delapan standar yaitu: isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, *) Mantan Dekan FTI-ITB, anggota BAN-PT, Wakil Ketua Komite HPT-PII, dan penilaian pendidikan. Jumlah standar, tingkat kedalaman, dan cara evaluasi yang digunakan di satu negara mungkin berbeda dengan negara lainnya, tetapi cakupan sama yang dievaluasi sama.

BAN-PT telah, sedang, dan akan melakukan perbaikan instrumen akreditasi. Instrumen akreditasi versi 2001 telah diganti dengan versi 2009/2010 dengan memperhatikan UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, PP No 19/2005 tentang SNP, serta paradigma penjaminan mutu yang semula input based bergeser ke processoutput based dan bahkan ke outcomes based. Instrumen yang saat ini bersifat generik akan dikembangkan dan disesuaikan dengan bidang-bidang keilmuan dengan penyusunan suplemen instrumen. Di masa depan, instrumen akreditasi untuk program studi bidang kesehatan akan berbeda dengan instrumen akreditasi bidang teknik, dan sebagainya.

BAN-PT telah menjalin kerjasama dengan sejumlah institusi/asosiasi seperti KKI, IAI (Akuntan), IAI (Apoteker), PII, IDI, PPNI, IBI, PDGI, HIMPSI, AIPKI, AFDOKGI, APTFI, APNI, AIPKIND, dsb untuk menyusun instrumen akreditasi program pendidikan profesi. Instrumen ini disusun dengan mengacu pada SNP dan standar pendidikan profesi yang telah ada. Dengan demikian, akreditasi yang dilakukan oleh BAN-PT juga mencakup program pendidikan profesi. Sebagai contoh, salah satu target Proyek Health Professional Education Quality (HPEQ) yang dikelola Ditjendikti Kemdiknas serta melibatkan BAN-PT dan Kementerian Kesehatan adalah terbentuknya Lembaga Akreditasi Mandiri Bidang Kesehatan. Dengan terbentuknya lembaga akreditasi mandiri (LAM) yang dimungkinkan dengan peraturan dan perundangan yang berlaku, fungsi BAN-PT mungkin berubah menjadi lembaga yang mengakreditasi LAM. Model ini terdapat di negara-negara yang telah maju sistem penjaminan mutu pendidikannya.

BAN-PT juga melakukan aliansi strategis internasional untuk memperoleh pengakuan dengan menjadi anggota dan aktif berperan dalam Asia Pacific Quality Network (APQN), International Network for Quality Assurance Agency for Higher Education (INQAAHE), Asean Quality Assurance Network (AQAN) dan Quality Assurance Agencies of the Islamic World (QAAIW), dan secara bilateral dengan lembaga akreditasi di beberapa negara. BAN-PT bersama Persatuan Insinyur Indonesia (PII) mendukung upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu penandatangan Washington Accord. Dengan menjadi penandatangan Washington Accord, program studi bidang teknik yang telah diakreditasi oleh lembaga yang menandatangani kesepakatan ini akan diakui oleh semua lembaga penandatangan kesepakatan ini di seluruh dunia. Upaya ini merupakan internasionalisasi dan tidak dapat dilepaskan dengan penjaminan mutu eksternal.

Penutup

Untuk dapat membangun budaya mutu, pimpinan PT, seluruh dosen dan staf pendukung akademik harus memberikan komitmen untuk melakukan peningkatan mutu berkesinambungan (continuous quality improvement = CQI). PT harus memiliki sistem manajemen mutu (quality management system = QMS) yang dapat menjamin pelaksanaan CQI. Penjaminan mutu dilakukan bukan karena terpaksa, tetapi karena dorongan untuk memperbaiki diri. Tentunya, pemerintah melalui Kemdiknas harus mendukung upaya peningkatan mutu PT ini.



*Artikel dimuat Republika, Senin 08/08/2011.

Leave a Reply